Minggu, 16 Mei 2010

Kematian

KEMATIAN:
Perspektif dan sikap teologis
Pendahuluan
“Kalau manusia mati, dapatkah ia hidup lagi?” (Ay. 14:14) Pertanyaan
Ayub ini menjelaskan kepada kita bahwa kematian merupakan realitas yang
pasti dihadapi semua manusia tanpa terkecuali. Kematian memberi
kesadaran bagi kita bahwa hidup manusia terbatas. Kematian dapat
dialami siapa saja, besar-kecil, tua-muda, tanpa diduga sama sekali dan
dapat terjadi lebih awal karena kelaparan, sakit penyakit, perang dan
bencana alam. Kematian adalah akhir radikal dari eksistensi manusia1.
Secara iman, kematian dipandang sebagai akibat ketidaktaatan terhadap
Allah.
2
Pertanyaan klasik yang selalu diajukan: bagaimanakah
sebenarnya keadaan manusia saat mati? Apakah hanya tubuh manusia yang
mati dan jiwa/roh manusia tetap hidup? Apakah tubuh berbeda dengan
jiwa/roh saat terjadi kamatian? Apakah jiwa/roh manusia tidak mati
(immortal) ? Makalah ini hendak menjelaskan soal kematian dari berbagai
sudut pandang, antara lain filsafat (Plato), budaya (Batak), ilmu
kedokteran dan agama (Islam dan Kristen). Secara khusus pandangan para
teolog Kristen dan kesaksian Alkitab mengenai kematian, diuraikan
dengan panjang lebar. Akhirnya, makalah ini ditutup dengan kesimpulan
dan refleksi teologis.

1. Konsep kematian menurut filsafat
Dalam sejarah filsafat dualisme antara jiwa dan tubuh dikembangkan oleh
Plato (429-347 s.M), seorang murid Socrates dan pendiri gymnasium yang
dinamai ”Academi”. Plato menekankan bahwa yang rohani mempunyai
prioritas terhadap yang jasmani. Jiwa berlainan dengan tubuh. Jiwa
dapat dibagi atas tiga fungsi: epithmia (keinginan), thymos (energik)
dan sebagai puncaknya logos (rasional). Sebelum seseorang dilahirkan,
ia sudah berada sebagai jiwa murni dan hidup di kawasan lebih tinggi,
di mana ia dapat memandang suatu dunia rohani. Di dunia rohani itu,
jiwa menikmati pengetahuan mengenai ide-ide dalam dalam cara hidup
kontemplatif. Di dunia rohani, jiwa sejak dahulu sudah ada, dan karena
itu jiwa itu baka3. Jiwa hendaknya dipandang bukan seperti ia
menampakkan diri dalam kenyataan (bertalian dengan tubuh), melainkan
dalam kemurniannya, tanpa dicemarkan oleh tubuh. Dengan demikian
kematian dapat dianggap sebagai pengungsian penuh gembira dari tubuh.
Bila tubuh musnah, jiwa hidup terus4.
Kelahiran menyebabkan jiwa
manusia terkurung dalam tubuh. Tubuh adalah penghalang bagi jiwa yang
selalu bergerak. Karenanya manusia harus melepaskan diri dari tubuh
dengan cara melayangkan pandangannya pada realitas yang ideal melalui
filsafat. Filsafat sebagai latihan dalam melepaskan ikatan-ikatan jiwa
dan persiapan akan kematian. Dengan demikian filsafat sebagai hasrat
akan kebijaksanaan menjadi juga suatu jalan keselamatan5.

2. Konsep kematian menurut budaya Batak
Secara genealogis-antropologis, suku Batak yang bermukim di bagian
utara dan barat laut Pulau Sumatera terdiri dari enam suku, yaitu suku
Karo, Pakpak atau Dairi, Simalungun, Toba, Angkola dan suku Mandailing.
Kata Batak memiliki pengertian beragam, misalnya: ’penunggang kuda yang
lincah’ atau ’kafir’ atau ’budak-budak yang bercap’6. Dalam salah satu
mitologi Batak, manusia pertama bernama Tuan Mulana (Yang Awal) yang
hidup karena hasil karya Boru Deak Parujar (putri dewa yang berada di
bumi) setelah menerima perintah dari Mulajadi Na Bolon (sang Awal yang
Maha Besar yang berkuasa atas segala yang ada). Atas ketetapan Mulajadi
Na Bolon, maka Boru Deak Parujar menjadi manusia dan istri dari Tuan
Mulana. Merekalah yang menjadi nenek moyang orang Batak.7 Mulajadi Na
Bolon diyakini sebagai Allah dari segala ilah yang menjadikan langit
dan bumi dan dan singgasananya berada di atas langit ketujuh. Di sana,
Mulajadi Na Bolon dikelilingi oleh segala dewa-dewa, raja-raja dan
pembesar-pembesar dunia ini8.
Kematian dipercaya sebagai tempat
berkumpulnya roh-roh orang yang sudah mati, yang sewaktu-waktu akan
datang kembali untuk mengambil sanak keluarga, kenalan, atau orang
asing, untuk dibawa ke tempat kumpulan itu. Karenanya, orang Batak
berkata: ”Na dialap ompungna do i.” Artinya, ”Dia sudah diambil
neneknya”. Hidup di akhirat setelah kematian adalah kelanjutan hidup di
dunia ini.9 Saat kematian terjadi, para anggota keluarga duduk
berjongkok mengelilingi jenazah dan meratapinya. Ritus ratapan (andung)
dilakukan karena mereka merasa segan dan takut terhadap begu (hantu)
yang telah mengambil jiwa orang yang ditangisi itu. Karena dia
(almarhum) sudah jadi asing dan berada di bawah kekuasaan setan maut.
Di sini pentingnya kehadiran tokoh datu (tokoh spirituil adat) untuk
menjaga supaya roh orang mati tidak mengikutsertakan jiwa seorang dari
orang-orang yang mengantarkannya memasuki liang lahatnya. Hubungan
orang mati dan yang hidup tidak berakhir dengan kematian. Roh orang
mati masih dapat mengunjungi keluarganya untuk memberi nasihat atau
petunjuk. Baru setelah 5 generasi hubungan roh orang mati dan
keturunannya putus10.

3. Konsep kematian menurut ilmu kedokteran
Penyebab kematian menurut ilmu kedokteran tidak berhubungan dengan
jatuhnya manusia ke dalam dosa atau dengan Allah, melainkan diakibatkan
tidak berfungsinya organ tertentu dari tubuh manusia. Kematian menurut
dokter H. Tabrani Rab dapat disebabkan empat faktor: (1) berhentinya
pernafasan, (2) matinya jaringan otak, (3) tidak berdenyutnya jantung
serta (4) adanya pembusukan pada jaringan tertentu oleh
bakteri-bakteri11. Seseorang dinyatakan mati menurut Dr. Sunatrio
bilamana fungsi spontan pernafasan/paru-paru dan jantung telah berhenti
secara pasti atau telah terbukti terjadi kematian batang otak12. Dengan
demikian, kematian berarti berhentinya bekerja secara total paru-paru
dan jantung atau otak pada suatu makhluk. Dalam ilmu kedokteran, jiwa
dan tubuh tidak dapat dipisahkan. Belum dapat dibuktikan bahwa tubuh
dapat dipisahkan dari jiwa dan jiwa itu baka. Manusia dipahami secara
holistik atau utuh.13.

4. Konsep kematian menurut agama Islam
Manusia menurut ajaran agama Islam adalah makhluk Tuhan Allah. Manusia
berada karena diciptakan oleh Allah. Manusia bukan Allah, bukan
keturunan Allah, melainkan makhluk yang harus menghambakan diri kepada
Allah14. Manusia terbagi atas dua unsur yaitu roh/jiwa dan tubuh
(jasad). Unsur roh atau jiwa dipahami berasal ”dari atas”, sementara
unsur tubuh (jasad) adalah unsur tanah/bumi15. Roh atau nyawa manusia
adalah zat yang halus, yang pada waktu mati meninggalkan tubuhnya yang
kasar itu16.
Surat Al-Zumar ayat 47 mengambarkan bahwa kematian
sama dengan tidur. Lebih lanjut hadis Nabi Muhammad saw mengatakan :
”Tidur adalah saudara mati. Di surga tiada mati, sehingga tiada pula
tidur.”17 Mati adalah perpisahan roh/jiwa dari jasad.18 Roh/jiwa tanpa
tubuh pada saat kematian akan segera pergi ke alam Barzakh sebelum
seseorang dibangkitkan untuk masuk surga atau terjerumus ke neraka.
Seseorang yang hidup di alam Barzakh dapat melihat apa yang terjadi
pada keluarganya di dunia ini dan dapat pula melihat apa yang
menantinya di alam surga atau neraka kelak. Karenanya, Al-Quran
mengingatkan agar setiap orang selalu berbuat amal kebaikan selama
hidupnya (QS 23:100)19.

5. Konsep kematian menurut teolog Kristen
5. 1. Yohanes Calvin
Yohanes Calvin (1509-1564) lahir di Noyon, Perancis Utara, tokoh
Reformasi yang dikenal dengan karyanya “Institutio” (1536), sebagai
bimbingan teologis bagi tafsiran dan penelaahan Alkitab20. Manusia
menurut Calvin harus dimengerti berdasarkan Alkitab yaitu sebagai
ciptaan Allah yang paling unggul dari seluruh ciptaan lain. Kenyataan
yang tak terbantahkan bahwa manusia terdiri dari jiwa dan raga. Yang
dimaksud jiwa ialah suatu wujud yang abadi, tetapi yang diciptakan
juga, yang merupakan bagian manusia yang paling luhur. Meskipun dalam
rupa lahir seorang manusia tercermin kemuliaan Allah, namun tak perlu
diragukan bahwa gambar Allah sebenarnya terdapat di dalam jiwa.21
Yang dimaksud “gambar” (tselem) adalah hakekat manusia yang tidak dapat
berubah, sedangkan ”rupa” (demuth) adalah sifat manusia yang dapat
berubah. Yang dimaksud dengan hakekat manusia yang tidak dapat berubah
ialah bahwa manusia memiliki akal, kehendak dan pribadi. Dalam
perkembangannya, manusia harus menjadi “serupa” dengan Tuhan Allah22.
Di dalam jiwa manusia terdapat dua bagian, akal budi dan kemauan. Tugas
akal budi ialah membeda-bedakan hal-hal yang ditemui, apakah harus
dibenarkan atau disalahkan; dan tugas kemauan ialah memilih dan
mengikuti apa yang dianggap baik oleh akal budi, menolak dan menjauhi
apa yang disalahkannya. Akal budi adalah pemimpin dan pengatur jiwa,
sedangkan kemauan selalu mengindahkan isyarat akal budi. Jadi Allah
telah memperlengkapi jiwa manusia dengan akal budi dan kemauan sehingga
manusia mempunyai kemauan bebas untuk mencapai kehidupan kekal23.
Dosa telah membuat manusia kehilangan kemuliaan Allah sehingga gambar
dan rupa Allah pada manusia menjadi rusak Setelah manusia jatuh dalam
dosa, tubuh itu fana (mortal body). Tubuh adalah tabernakel bagi jiwa
dan sekaligus dapat menjadi kemah Allah bagi kemuliaanNya. Jiwa berbeda
dengan tubuh sebab jiwa itu tidak dapat mati atau abadi (immortal).
Jiwa dan roh adalah sama yang keduanya menunjuk kepada hal batiniah
pada manusia. Kematian adalah perpisahan antara jiwa dan tubuh. Pada
saat kematian, jiwa dibebaskan dari kungkungan tubuh. Dengan demikian,
tubuh yang fana (mortal body) identik dengan keberdosaan daging (sinful
flesh). Kematian telah mengakhiri perjuangan orang percaya dalam
peperangan menghadapi keinginan-keinginan daging24.
Ketika
manusia meninggal, jiwa terpisah dari tubuh dan tubuh kembali kepada
tanah/debu. Tetapi jiwa itu baka, dan setelah terpisah dari tubuh, jiwa
tidak terkena hukuman dan tidak ”tidur” dalam kematian. Setelah
kematian, jiwa menikmati damai sorgawi (heavenly peace) sambil menunggu
kebangkitan daging. Jiwa mengalami kedamaian yang lebih tinggi setelah
lepas dari tubuh dan mencapai penyempurnaannya dalam kebahagiaan
kebangkitan daging kelak. Jiwa orang percaya setelah keluar dari tubuh
hidup terus dan merasakan ”kedamaian sementara” (provisional
blessedness) di dalam Allah walaupun belum sempurna25.
Kesempurnaan
kedamaian terjadi setelah kebangkitan daging kelak. Yang bangkit adalah
tubuh dan bukan jiwa (1Kor. 15:54; Yoh 2:29). Daging yang dibangkitkan
kelak tidak akan binasa dan dalam penyatuan dengan jiwa, siap
menghadapi takhta pengadilan Kristus untuk menerima pahala kehidupan
kekal. Walaupun manusia telah jatuh ke dalam dosa, Allah mengasihinya.
Manusia berdosa diselamatkan Allah hanya karena anugerah (sola gratia)
dalam Yesus Kristus sehingga manusia patut mengucap syukur dan
memuliakan Allah (soli Deo gloria) atas anugerah keselamatan tersebut26.

5. 2. R. C. Sproul
R.C. Sproul, seorang teolog dan pendeta Amerika berpendapat bahwa
manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah adalah makhluk
yang dibuat dari tubuh yang bersifat materi dan jiwa yang bukan materi.
Baik tubuh maupun jiwa diciptakan Allah dan merupakan aspek yang
berbeda. Paham dualitas ini menggambarkan bahwa manusia merupakan satu
keberadaan dengan dua unsur yang berbeda, yang disatukan oleh Allah
dalam penciptaan. Keberadaan manusia ini tidak memerlukan penambahan
unsur atau substansi lain (seperti roh) baik secara filosofikal maupun
secara eksegetikal, untuk menjembatani ketegangan dari dua unsur yang
berada dalam diri manusia27.
Tubuh itu diciptakan baik dan tidak
memiliki warisan kejahatan secara fisik. Namun, baik tubuh maupun jiwa
telah tercemar secara moral oleh dosa. Manusia adalah berdosa baik
tubuh maupun jiwanya. Jiwa manusia diciptakan oleh Allah dan tidak
berasal dari kekekalan. Meskipun jiwa tidak terdiri dari materi dan
tidak dapat dihancurkan oleh kekuatan fisik tetapi jiwa dapat
dimusnahkan oleh Allah. Jiwa tidak dapat berada tanpa kebergantungan
kepada Allah, ”Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada,
seperti yang telah dikatakan pujangga-pujanggamu: Sebab kita ini dari
keturunan Allah juga.” (Kisah para Rasul 17:28)
Pada waktu
kematian, meskipun tubuh ini mati, tetapi baik jiwa orang percaya
maupun orang tidak percaya tetap hidup. Orang-orang percaya menantikan
pemenuhan dari penebusan mereka, sedangkan orang yang tidak percaya
menunggu penghakiman Allah. Oleh karena Allah menjaga jiwa dari
kematian, maka manusia memiliki kesadaran terus menerus akan keberadaan
pribadinya yang melampaui kematian. Keseluruhan pribadi manusia jatuh
ke dalam dosa; baik tubuh maupun jiwa adalah obyek penyelamatan Allah
yang diberikan berdasarkan kasih karunia-Nya28.

5. 3. Andarias Kabanga’
Andarias Kabanga’, lahir di Rantelemo, Tana Toraja (21 Maret 1951)
adalah pendeta Gereja Toraja dan Doktor teologi dari SEAGST yang
mengajar sebagai dosen di STT Rantepao dan Direktur Pasca Sarjana STT
Intim Makassar. Disertasinya menyoroti konsep mati seutuhnya dalam
konteks Toraja dengan sudut pandang antropologi Kristen dalam kaitan
dengan rumusan Pengakuan Gereja Toraja (PGT).
Kabanga’ dalam
bukunya Manusia mati seutuhnya berpendapat bahwa manusia yang
diciptakan Allah adalah suatu totalitas, keutuhan. Berdasarkan
tafsirannya atas Kej. 2:7, nisymat hayyim (daya hidup) maupun nefesy
hayah (jiwa hidup) diciptakan Allah, dan bukan zat Allah yang keluar
dari diri-Nya. Nisymat hayyim adalah kehidupan atau daya hidup yang
diciptakan Allah karena belum ada yang menghidupi jasad manusia pada
saat itu. Tuhan Allahlah yang menciptakan nisymat itu barulah ada daya
hidup yang dihembuskan. Dengan kata lain ”nafas hidup” adalah ciptaan
dan bukanlah nafas-Nya Allah. Nisymat hayyim inilah yang dihembuskan ke
dalam jasad yang diambil dari tanah sehingga jasad itu menjadi nefesy
hayyah (jiwa hidup). Oleh karena sumber Yahwist selalu melukiskan Allah
dalam karyaNya itu secara antropomorfis, maka dipakailah kata yippah
(menghembuskan), sehingga banyak orang sering memahami nisymat sebagai
nafas-Nya Allah. Akibatnya terjadi kesalahpahaman bahwa jiwa manusia
dipahami sebagai ”jiwa-Nya” Allah, yang berarti zat Allah/unsur ilahi
ada dalam diri manusia. Tubuh dan jiwa manusia adalah ciptaan dan fana.
Karenanya sewaktu meninggal, dia secara totalitas: tubuh dan jiwanya
takluk kepada maut. Dimensi jiwa dan roh pada manusia mengalami
kematian sama seperti tubuhnya29.
Bila Alkitab berbicara tentang
jiwa/roh orang yang telah mati (1 Sam. 28:7, Pkh. 12:7), itu tidak
berarti bahwa dimensi jiwa/roh pada manusia immortal, melainkan yang
ditekankan bahwa manusia secara totalitas atau seanteronya ”tidak
habis”. Manusia seanteronya, yakni refaimnya (bayangan diri manusia)
tetap ada dalam anamnesis (ingatan) Allah sampai ia dibangkitkan
kembali. Selama manusia itu mati, selama itu juga dimensi jiwanya dan
tubuhnya tidak mempunyai kekuatan apa-apa dan tidak bereksistensi
seperti kalau manusia itu masih bernafas. Karena jiwa dan tubuh manusia
tidak mempunyai kekuatan apa-apa ketika ia mati, maka mendiang bagaikan
orang yang tidur (Lih. Luk 8:52-53). Dengan demikian, satu-satunya yang
tidak takluk kepada maut hanyalah Allah, karena Dia itu kekal (1 Tim.
6:16)30.
Manusia mati seutuhnya dan karena itu manusia juga
bangkit seutuhnya. Dikatakan bangkit seutuhnya, karena semua dimensi
manusia ”dibangkitkan” dalam kuasa Allah. Allah tidak mencipta ulang
untuk kebangkitan orang mati, melainkan dia jugalah yang dibangkitkan
kelak. Kehidupan baka di masa datang bukanlah penciptaan baru. Yang
mati itu jugalah yang akan hidup seanteronya dalam total personality
yang sempurna yaitu tubuh sekaligus manusia rohani. Dengan demikian,
”aku” manusia yang mati, ”aku” itu juga yang dibangkitkan kelak31.
6. Kematian menurut kesaksian Alkitab

Kata yang dipakai dalam Perjanjian Lama untuk kematian adalah mawet,
mut32 (Ibrani) dan Perjanjian Baru memakai kata thanatos, nekros33
(Yunani). Antropologi Perjanjian Lama menjelaskan bahwa manusia bukan
berasal dari Allah melainkan diciptakan oleh Allah (Kej. 1:27) atau
dibentuk oleh Allah dari debu tanah dan diberi kehidupan setelah Allah
menghembus nafas hidup ke dalam hidungnya (Kej. 2:7). Bila manusia
disebut ciptaan maka didalam manusia ada unsur ketidakkekalan
(mortality). Dalam Kej. 2:16-17 terdapat larangan makan buah
pengetahuan yang baik dan jahat dengan akibat ”mati”, mut. Perintah
Allah itu itu dilanggar manusia sehingga manusia mati dalam pengertian
terpisah dengan Allah; bukan mati dalam pengertian jasmani34. Sikap
ketaatan kepada Allah juga dikemukakan oleh Tuhan Yesus saat dicobai
Iblis di padang gurun (Mat. 4:4). Rasul Paulus juga berbicara manusia
yang mati (nekros) karena pelanggaran dan dosa (Ef 2:1, Rm 7:9).Tekanan
kata nekros adalah ”mati” karena terhukum. Selain itu dalam Roma 6:23,
Rasul Paulus mengatakan bahwa upah dosa adalah maut (thanatos) dan yang
telah masuk melalui dosa Adam (Rm. 5:12). Akibat dosa, manusia terputus
hubungannya dengan Allah35.
Dalam Kej 2: 7 dikatakan bahwa Tuhan
Allah membentuk manusia dari debu tanah. Allah memasukkan nafas
(neshamah) ke dalam bentuk jasmani, dan dengan cara itu manusia menjadi
makhluk hidup (nefesh chayyah)36. Masuknya nafas Allah pada manusia
bukan berarti manusia menerima jiwa atau roh ilahi (divine soul or
spirit). Paham tentang roh atau jiwa yang ilahi tidak terdapat dalam
Perjanjian Lama; hanya dikatakan bahwa roh (ruach) atau nafas kembali
kepada Allah. (Pkh 12:7) Konsep ruach sama pengertiannya dengan pneuma
dalam Perjanjian Baru37. Konsepsi nefesh (jiwa) adalah daya yang
menghidupkan tubuh dan tidak dapat dibayangkan jika berada di luar
tubuh. Perjanjian Lama tidak mengenal paham trikotomi, pembagian
manusia ke dalam jiwa, roh dan tubuh, atau paham dikotomi, pembagian
manusia ke dalam jiwa dan badan38. Roh bukan sesuatu yang terpisah dari
jiwa. Roh dan jiwa tidak dapat pernah dipisahkan sama seperti jiwa dan
tubuh39. Saat manusia mati tubuh itu memasuki proses menjadi tanah
kembali (debu). Jelas, kematian membuat hidup manusia berhenti, tetapi
bayang-bayang manusia masih tetap hidup, a shadow dalam Syeol40.
Paham immortalitas jiwa tidak dikenal dalam Alkitab. Manusia mengalami
kematian bukan karena Tuhan, tetapi karena kemauan manusia sendiri yang
hendak menjadi sama seperti Allah. Dosa utama ini yang membawa kematian
dalam hidup manusia. Pandangan rohani yang dalam ini berasal dari
konflik antara tradisi Yahwis berhadapan dengan konsepsi dunia Timur
kuno. Manusia disebut sebagai gambar Allah (image of God), karena
manusia memiliki hubungan khusus dengan Allah di mana manusia dipercaya
menguasai alam semesta (Kej. 2:8-25). Di sini manusia hidup dalam
”keadaan tidak berdosa” sehingga mereka tidak malu saat keduanya
telanjang41.
Manusia yang terdiri dari tubuh, roh dan jiwa
disebut sebagai manusia seutuhnya; manusia sebagai suatu totalitas.
Manusia yang utuh ini yang Allah ciptakan dan sekaligus diselamatkan
Allah setelah jatuh dalam dosa. Keselamatan yang Allah berikan bukanlah
keselamatan untuk jiwanya saja, tetapi keselamatan untuk tubuhnya juga.
Manusia adalah suatu kesatuan dari tubuh dan jiwa42. Suatu kesatuan
yang utuh yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Kalau manusia mati, ia
mati seluruhnya sebagai tubuh dan jiwa. Itu yang dikatakan oleh Alkitab
dan yang juga akan terjadi pada tiap-tiap manusia. Allah bersama-sama
manusia dalam hidupnya dan Allah juga bersama-sama dengan manusia pada
waktu manusia mati dan sesudah manusia mati43.
Jelas bahwa
manusia mati sebagai manusia dalam totalitas dirinya. Ia mati sebagai
diri yang rohani dan badani. Maka kematian badani adalah lambang yang
tepat yang menjelaskan lebih mendalam bahwa maut adalah akibat dosa dan
tidak terelakkan44. Bila dosa mengakibatkan kematian, maka Kristus
telah diutus Allah untuk menghapuskan dosa manusia sehingga di dalam
Kristus manusia didamaikan dengan Allah. Dengan jalan itu, Allah
memberikan kepada manusia kemungkinan baru untuk hidup sebagai
partnerNya45.

Kesimpulan dan Refleksi
1. Kesimpulan
Pertama, Ajaran immortalitas jiwa dapat ditemui dalam filsafat (Plato),
budaya (kepercayaan tradisionil suku Batak) dan ajaran agama
(Islam/Kristen), termasuk teolognya (Yohanes Calvin dan R.C. Sproul).
Kedua, Ilmu pengetahuan kedokteran memahami manusia sebagai satu
kesatuan tubuh, jiwa dan rohnya baik di saat hidup maupun mati.
Ketiga, Andarias Kabanga’ dengan argumentasi teologis yang kuat dan
mendasar, berkeyakinan bahwa jiwa dan tubuh manusia adalah ciptaan
Allah yang pada akhirnya mati seutuhnya. Hanya Refaimnya manusia yang
tetap ada dalam anamnesis (ingatan) Allah sampai ia dibangkitkan
kembali.
Keempat, Alkitab tidak ada menyebut sama sekali dikotomi
atau trikotomi tubuh, jiwa dan roh. Tubuh, jiwa dan roh adalah satu
kesatuan yang utuh dan bersifat fana. Totalitas atau keutuhan manusia
berlaku saat hidup, mati dan kebangkitannya dalam persekutuan dengan
Allah Bapa, Yesus Kristus dan Roh Kudus.

2. Refleksi
Paham
immortalitas jiwa dapat ditemui dalam filsafat, budaya dan ajaran
agama, termasuk Kekristenan. Paham immortalitas jiwa, mengakibatkan
cara memahami pesan Alkitab seperti Kejadian 1:27 ada dalam bingkai
immortalitas jiwa. Saya secara pribadi menerima dengan keyakinan iman
pandangan teologis Andarias Kabanga’ tentang keutuhan manusia baik
dalam hidup maupun matinya. Immortalitas jiwa sebagaimana filsafat
Plato, kepercayaan tradisionil suku Batak atau pandangan teologi Calvin
dan Sproul tidak dapat saya terima karena membingungkan dan menyesatkan
sebab manusia dipahami secara terpecah belah dimana jiwa/roh dinilai
mulia dan tubuh dinilai jahat. Karenanya bagi saya yang berlatar
belakang suku Batak, menjadi jelas mengapa orang Batak mengekspresikan
dukacitanya secara mendalam sewaktu meratapi mendiang sebab berakarnya
paham immortalitas jiwa..
Paham immortalitas jiwa tanpa disadari
diterima dan menjadi pemahaman pribadi di kalangan warga jemaat karena
pembacaan Alkitab secara harafiah tanpa mencari penjelasan lebih
lengkap terlebih dahulu. Selain itu, khotbah para pendeta dan
bacaan-bacaan kristen populer bukan tidak mungkin turut menyuburkan dan
menguatkan pemahaman immortalitas jiwa di kalangan warga jemaat.
Perkembangan terbaru dapat disaksikan dengan maraknya tayangan sinetron
di televisi yang menggambarkan jiwa atau roh manusia yang mengganggu
dan menuntut balas kematiannya terhadap mereka yang masih hidup. Saat
terjadi musibah, jasa paranormal sebagai medium dalam berkomunikasi
dengan jiwa-jiwa, telah dimanfaatkan untuk mencari para korban
kecelakaan pesawat terbang atau kapal laut yang tenggelam. Pasti
terjadi reaksi jika paham immortalitas jiwa hendak disebarluaskan di
kalangan warga jemaat. Perlu sikap hati-hati dan bijak sehingga tidak
terjadi gejolak hebat dikalangan warga jemaat. Pembinaan di kalangan
pendeta dan Majelis Jemaat/Gereja harus diutamakan melalui
materi-materi bina dan perangkat-perangkat Tata Gereja dan berlanjut
kepada warga jemaat.

DAFTAR PUSTAKA

Abineno, J.L. Ch. Manusia dan Sesamanya di dalam Dunia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990.
Arifin, H. Bey. Hidup Sesudah mati, Jakarta: Penerbit C.V. Kinta, 1994.
Berkhof, H. Christian Faith, An Introduction to The Study of The Faith, Michigan: Wm B. Eerdmans Publishing Company, 1979.
Berkhof, L. The History of Christian Doctrines, Pennsylvania: The Banner of Truth Trust, 1975.
Calvin, Yohanes. Institutio: Pengajaran Agama Kristen, cet. Ke-2, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985.
Douglas, J.D. et.al.,
Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid II: M-Z, cet. ke-6, Terj. Yayasan
Komunikasi Bina Kasih/OMF, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/ OMF,
2002.
Freedman, David N. (Ed), Eerdmans Dictionary of The Bible, Michigan:
Wm. Eerdmans Publishing Company, 2000.
Guthrie, Donald. Teologi Perjanjian Baru 1: Allah, Manusia, Kristus, Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1991.
Hadiwijono, Harun. Iman Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988.
Kabanga’,
A. Manusia Mati Seutuhnya: Suatu Kajian Antropologi Kristen, Pengantar:
Prof (Em) Dr. Sularso Sopater, Yogyakarta: Media Pressindo, 2002.
Kittel,
Gerhard & Friedrich, Gerhard. (Ed) Theological Dictionary of The
New Testament, (Michigan: Wm Eerdmans Publishing Company, 1985), hlm.
312.
Lane, Tony. Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani, Terj. Conny Item-Corputy, cet. ke-3, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.
Leon-Dufour, Xavier. Ensiklopedi Perjanjian Baru, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993.
Lumbantobing, Andar M. Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.
Niebuhr, Reinhold. The Nature and Destiny of Man, A Christian Interpretation, New York: Charles Scribners Sons, 1943.
Shihab,
M. Quraish, Membumikan Al_Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, cet. ke-19, Bandung: Penerbit Mizan.
Sproul, R.C. Kebenaran-kebenaran Dasar Iman Kristen, Terj. R. Tanudjaja, Malang: Departemen Literatur SAAT, 1998.
Sumartana, Th. (ed), Ecce Homo, Jakarta: Penerbit Aurora, 1994.
van Peursen, C.A. Tubuh-jiwa-roh, suatu pengantar dalam filsafat manusia,
Terj. K. Bertens, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983.
Vriezen, Th. C. An Outline of Old Testament Theology, Oxford: Basil Blackwell 1958.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar