Kamis, 13 Mei 2010

PERUMPAMAAN-PERUMPAMAAN DALAM AJARAN TUHAN YESUS KRISTUS

Image
Surat Kabar sering menempatkan gambar kartun di tempat yang menarik perhatian pembaca, yaitu di halaman editorial. Seniman menggoreskan garis-garis sederhana untuk membuat karikatur tentang situasi politik, sosial, atau ekonomi yang sedang kita hadapi. Melalui karikatur tersebut, ia dapat menyampaikan pesan yang begitu tajam dan tepat mengenai sasaran. Ketajaman dan ketepatan karikatur itu tidak dapat ditandingi oleh kefasihan bahasa seorang ahli bahasa.

Yesus melukiskan gambaran verbal tentang dunia di sekitarnya melalui perumpamaan-perumpamaan. Ia mengajar dengan menggunakan perumpamaan untuk menggambarkan apa yang sedang terjadi dalam kehidupan nyata. Dia menggunakan sebuah cerita yang diambil dari kehidupan sehari-hari. Ia mengajarkan pengajaran baru dengan menggunakan cerita tentang keadaan yang sudah dikenal dan diterima oleh pendengar-Nya. Pengajaran itu seringkali muncul di akhir cerita dan mempunyai pengertian yang dalam sehingga membutuhkan waktu untuk memahaminya. Ketika pendengar mendengar sebuah perumpamaan, ia akan menyetujuinya karen a cerita itu biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan ia dapat mengerti segala suatu yang diutarakan dalam perumpamaan terebut. Sedangkan yang berkaitan dengan aplikasi dari perumpamaan itu, sekalipun bisa didengar, tetapi aplikasinya tidak selalu dapat dimengerti. Kita dapat memahami suatu cerita yang dibeberkan kepada kita, tetapi kita bisa saja tidak dapat menangkap signifikansi dari cerita itu. [1] Kebenaran tetap tersembunyi sampai mata kita dibukakan dan dapat melihat dengan jelas. Pada sa at itu barulah pengajaran yang baru dari perumpamaan itu akan menjadi berarti. Hal itu dikatakan oleh Yesus kepada murid-murid-Nya, "Kepadamu telah diberikan rahasia Kerajaan Allah, tetapi kepada orang-orang luar segala sesuatu disampaikan dalam perumpamaan" (Markus 4:11).



Bentuk-bentuk Perumpamaan


Kata perumpamaan dalam Perjanjian Baru mempunyai konotasi yang luas, termasuk bentuk-bentuk perumpamaan yang secara umum dibagi ke dalam tiga kategori. [2] Ada perumpamaan-perumpamaan yang berupa kisah nyata, perumpamaan-perumpamaan yang berupa cerita dan ilustrasi.


1. Perumpamaan-perumpamaan berupa kisah nyata. Perumpamaan-perumpamaan ini menggunakan ilustrasi dari kehidupan sehari-hari yang sudah dikenal oleh para pendengar. Setiap orang mengakui kebenaran dari kisah itu, sehingga tidak ada dasar bagi para pendengar untuk mengajukan keberatan dan kritik. Semua orang telah melihat bahwa benih tumbuh dengan sendirinya (Markus 4:26-29); ragi mengkhamirkan seluruh adonan (Matius 13:33); anak-anak bermain di pasar (Matius 11:16-19; Lukas 7:31, 32); seekor domba yang meninggalkan kumpulannya (Matius 18:12-14); dan seorang wanita yang kehilangan dirham di rumahnya (Lukas 15:8-10). Perumpamaan-perumpamaan ini dan banyak perumpamaan yang lain bertitik-tolak dari gambaran kehidupan manusia maupun alam yang memang demikian pada kenyataannya. Perumpamaan-perumpamaan itu biasanya berkaitan dengan apa yang terjadi pada masa kini.

2.Perumpamaan-perumpamaan berupa cerita. Berbeda dari perumpamaan berupa kisah nyata, perumpamaan ini tidak berdasarkan pada kenyataan atau tata cara yang sudah diterima secara umum. Perumpamaan berupa kisah nyata dipaparkan sebagai kisah nyata yang sedang terjadi, sedangkan perumpamaan berupa cerita menunjuk pada suatu peristiwa yang terjadi di masa lampau. Biasanya berkenaan dengan pen gala man seseorang. Matius 13:24-30 menjelaskan pengalaman dari seorang petani yang menabur gandum dan kemudian mengetahui bahwa musuhnya telah menabur lalang di tempat yang sama. Lukas 16:1-9 menceritakan seorang kaya yang memiliki manajer yang telah menyia-nyiakan hartanya. Lukas 18:1-8 mencatat ten tang seorang hakim yang menjalankan keadilan setelah mendengarkan permohonan yang terus menerus dari seorang janda. Kehistorisan dari cerita-cerita ini tidak dipermasalahkan, karena yang penting bukan apakah peristiwa itu benar-benar terjadi atau tidak, tetapi yang penting adalah kebenaran yang terkandung di dalam cerita itu.

3. Ilustrasi. Cerita-cerita ilustrasi yang muncul di Injil Lukas biasanya dikategorikan sebagai cerita-cerita contoh. Perumpamaan orang Samaria yang baik hati (Lukas 10:30-37); perumpamaan orang kaya yang bodoh (Lukas 12:16-21); perumpamaan orang kay a dan Lazarus (Lukas 16:19-31); dan perumpamaan orang Farisi dan pemungut cukai (Lukas 18:9-14) termasuk dalam kategori ini. Pola dari ilustrasi-ilustrasi tersebut berbeda dari perumpamaan berupa cerita. Perumpamaan berupa cerita merupakan sebuah analogi, sedangkan ilustrasi memperlihatkan contoh-contoh yang harus ditiru atau yang harus dihindari. Ilustrasi langsung dipusatkan pada karakter dan tingkah laku seseorang, sedangkan perumpamaan berupa cerita juga melakukan hal itu hanya tidak secara langsung.


Mengkategorikan perumpamaan bukan merupakan hal yang sederhana. Beberapa perumpamaan menunjukkan karakteristik dari dua kategori, yaitu perumpamaan berupa kisah nyata dan perumpamaan berupa cerita, sehingga dimungkinkan untuk dimasukkan ke dalam kedua kategori di atas. Injil juga berisi banyak perkataan-perkataan parabol. Sulit untuk menentukan secara tepat bagian mana dari perkataan Yesus yang termasuk kategori perumpamaan berupa kisah nyata dan bagian yang mana merupakan perkataan parabola. Pengajaran Yesus tentang ragi (Lukas 13:20,21) diklasifikasikan sebagai perumpamaan berupa kisah nyata, tetapi pengajaran-Nya yang lebih panjang tentang garam (Lukas 14:34, 35) disebut sebagai perkataan parabol. Selain itu ada beberapa perkataan Yesus dinyatakan sebagai perumpamaan. Contohnya, "Yesus menceritakan pula suatu perumpamaan kepada mereka: " Dapatkah orang buta menuntun orang buta? Bukankah keduanya akan jatuh ke dalam lubang?" (Lukas 6:39).

Apakah perbedaan perumpamaan dengan alegori? John Bunyan dalam bukunya Pilgrim's Progress memberikan sebuah alegori ten tang perjalanan hidup orang Kristen. Nama-nama dan peristiwa-peristiwa di dalam buku itu adalah pengganti dari siapa dan apa yang ada dalam kenyataan. Setiap fakta, gambaran, dan nama adalah simbolis, dan harus diterjemahkan bagian demi bagian ke dalam kehidupan nyata supaya bisa dimengerti dengan benar. Sedangkan, sebuah perumpamaan benar terjadi dalam kehidupan dan umumnya mengajarkan hanya satu prinsip kebenaran. Dalam perumpamaan, Yesus menggunakan banyak gaya bahasa metafora, misalnya raja, hamba, perawan. Kata-kata metafora itu tidak pernah terlepas dari realita atau tidak pernah berhubungan dengan dunia fantasi atau fiksi. Cerita-cerita dan contoh-contoh itu diambil dari dunia di mana Yesus hidup. Perumpamaan diceritakan untuk menyampaikan kebenaran rohani dengan memakai satu bagian dari perumpamaan itu sebagai bahan perbandingan. Rincian dari cerita mendukung berita yang terkandung dalam perumpamaan yang disampaikan. Perumpamaan-perumpamaan tidak boleh dianalisa bagian demi bagian dan ditafsirkan secara alegoris, sebab hal itu akan mengakibatkan hilangnya signifikansi dari perumpamaan itu.



Komposisi


Meskipun secara umum benar bahwa sebuah perumpamaan mengajarkan hanya satu prinsip kebenaran, namun peraturan ini jangan ditekankan terlalu jauh. Beberapa perumpamaan Yesus mempunyai komposisi yang kompleks. Perumpamaan tentang penabur merupakan satu komposisi yang terdiri dari empat bagian, dan masing-masing bagian memerlukan sebuah penafsiran. Demikian juga, perumpamaan tentang pesta pernikahan bukan merupakan cerita tunggal, tetapi mempunyai bagian tambahan tentang seorang tamu yang tidak memakai pakaian pesta yang selayaknya. Dan kesimpulan dari perumpamaan tentang penyewa beralih dari perumpamaan kebun anggur ke perumpamaan tentang pembangunan. Kesadaran akan adanya kekompleksan ini, maka seorang pengeksegesis yang bijaksana tidak akan memaksakan untuk memakai metode penafsiran satu prinsip kebenaran.

Pada waktu kita membaca perumpamaan-perumpamaan Tuhan Yesus, kita dapat bertanya mengapa banyak rincian yang seharusnya menjadi bagian dari cerita itu yang tidak diceritakan. Contohnya, dalam kisah ten tang seorang ternan yang mengetuk pintu tetangganya di tengah malam meminta tiga ketul roti, istri tetangga itu tidak disebutkan. Dalam perumpamaan tentang anak yang hilang, ayahnya adalah tokoh utama dalam kisah ini, tetapi tidak satu kata pun menyebutkan ten tang ibunya. Perumpamaan tentang sepuluh gadis hanya menyebutkan pengantin laki-laki, dan sarna sekali tidak menyebut tentang pengantin perempuan. Rupanya rincian-rincian ini tidak relevan untuk komposisi yang biasa digunakan dalam perumpamaan Yesus, khususnya jika kita mengerti gaya bahasa tiga serangkai yang sering digunakan di dalam perumpamaan Yesus. Di dalam perumpamaan tentang teman di tengah malam, terdapat tiga karakter: musafir, teman dan tetangga. Perumpamaan anak yang hilang juga terdiri dari tiga orang: ayah, anak bungsu, anak sulung. Dan dalam kisah sepuluh gadis terdapat tiga elemen: lima gadis bijaksana, lima gadis bodoh dan pengantin laki-laki.

Selain itu, di dalam perumpamaan-perumpamaan Yesus yang penting bukan awal cerita tetapi akhir cerita. Penekanannya jatuh pada orang, perbuatan dan perkataan yang terakhir disebutkan. Sebutan "tekanan terakhir" di dalam perumpamaan adalah sebuah pola yang sengaja dibuat di dalam komposisinya[3]. Orang yang terluka itu bukan dibantu oleh ahli Taurat atau orang Lewi, tetapi oleh orang Samaria. Meskipun hamba yang mendapatkan tambahan lima talenta dan hamba yang menghadiahkan dua talenta kepada tuannya menerima pujian dan rekomendasi, tekanan dari kisah ini adalah pada perbuatan hamba yang menguburkan talenta satu-satunya di dalam tanah yang menyebabkan dia mendapatkan murka dan hukuman. Dan di dalam perumpamaan pemilik tanah yang sepanjang hari mempekerjakan orang-orang di kebun anggurnya dan pada pukul enam dia mendengar keluhan dari beberapa pekerja, penekanan yang penting adalah jawaban pemilik tanah: "Saudara, aku tidak berlaku tidak adil terhadap engkau ... Atau iri hatikah engkau, karen aku murah hati?" (Matius 20:13, 15).

Seni menyusun dan menceritakan perumpamaan yang didemonstrasikan oleh Yesus tidak ditemukan persamaannya di dalam literatur. Perumpamaan yang mirip dengan perumpamaan Yesus yaitu perumpamaan rabi-rabi kuno di abad pertama dan kedua pada zaman kekristenan. Perumpamaan-perumpamaan rabinik biasanya diperkenalkan dengan formula sebagai berikut: "Sebuah perumpamaan: hal ini dapat diumpamakan sebagai?" Juga, dalam beberapa perumpamaan alat-alat literatur yang digunakan adalah tiga serangkai dan tekanan akhir. Contohnya:

Sebuah perumpamaan: hal ini dapat diumpamakan sebagai? Ada seorang pria yang sedang mengadakan perjalanan dan dia bertemu dengan seek or serigala dan dia berhasil melarikan diri dari serigala itu, dan dia melanjutkan perjalanan sambil terus mengingat pen gala man dia bersama serigala itu. Kemudian dia bertemu dengan seekor singa dan berhasil lolos dari singa itu, dan dia melanjutkan perjalanan sambil terus mengingat pengalaman dia dengan singa itu. Kemudian dia bertemu dengan seekor ular dan berhasil lolos dari ular itu, dan dia melupakan dua peristiwa sebelumnya dan dia melanjutkan perjalanan dengan hanya mengingat pengalamannya dengan ular itu. Demikian pula halnya dengan bangsa Israel: kesulitan yang yang terjadi kemudian membuat mereka melupakan kesulitan-kesulitan sebelumnya.[4]

Namun demikian, kemiripan antara perumpamaan Yesus dan perumpamaan rabi hanya bersifat formal. Perumpamaan rabinik biasanya diperkenalkan untuk menjelaskan Hukum Taurat, ayat-ayat Alkitab atau sebuah doktrin. Perumpamaan-perumpamaan rabi tidak digunakan untuk mengajarkan kebenaran-kebenaran baru seperti perumpamaan Yesus. Yes us memakai perumpamaan untuk menjelaskan tema besar dari pengajaran-Nya: Kerajaan Surga; kasih; anugerah; dan kemurahan Allah; pemerintahan dan kedatangan kembali Anak Allah; keberadaan dan akhir nasib dari manusia.[5] Perumpamaan-perumpamaan rabi tidak mengajarkan sesuatu di luar aplikasi Hukum Taurat, sedangkan perumpamaan Yesus merupakan bagian dari wahyu Allah untuk manusia. Di dalam perumpamaan-perumpamaan-Nya Yesus mewahyukan kebenaran-kebenaran baru, karena Dia diperintahkan Allah untuk menyatakan kehendak dan Firman Allah. Oleh karena itu, perumpamaan-perumpamaan Yesus adalah wahyu Allah, sedangkan perumpamaan-perumpamaan rabi bukan wahyu Allah.



Tujuan


Perumpamaan-perumpamaan Yesus menunjukkan bahwa Yesus sepenuhnya mengenal keragaman seluk beluk kehidupan manusia. Dia mempunyai pengetahuan ten tang pertanian, menabur benih, mendeteksi lalang dan penuaian. Dia sangat mengenal tentang seluk beluk kebun anggur, sehingga Dia mengetahui saat memetik buah anggur dan buah ara, dan mengetahui upah yang harus dibayar untuk sehari bekerja. Dia bukan hanya mengenal kehidupan sehari-hari petani, nelayan, tukang bangunan, dan pedagang, tetapi Dia juga sangat mengenal seluk-beluk pengelola perumahan, menteri-menteri keuangan di pengadilan kerajaan, hakim di pengadilan hukum, orang-orang Farisi, dan para pemungut cukai. Dia mengerti kemiskinan Lazarus, namun demikian Dia juga diundang untuk makan malam bersama orang kaya. Perumpamaan-Nya menggambarkan kehidupan kaum lelaki, wanita dan anak-anak, miskin dan kaya, yang terbuang dan yang terhormat. Karena pengenalan-Nya yang luas akan kehidupan manusia, maka Dia dapat me lay ani semua strata so sial. Dia berbicara sesuai dengan bahasa mereka dan mengajar sesuai dengan keberadaan mereka. Yesus menggunakan perumpamaan-perumpamaan supaya pesan-Nya dapat diterima oleh para pendengar. Ia juga menggunakannya untuk mengajar Firman Tuhan kepada orang banyak, untuk memanggil pendengar-Nya bertobat dan beriman, untuk menan tang orang-orang percaya supaya mempraktekkan perkataan mereka di dalam perbuatan, dan untuk mengingatkan pengikut-Nya supaya waspada.

Yesus mengajarkan perumpamaan untuk mengkomunikasikan pesan keselamatan dengan cara yang jelas dan sederhana. Pendengar-Nya dapat mengerti dengan mudah kisah tentang anak yang hilang, dua orang yang mempunyai hutang, perjamuan makan yang besar, serta kisah tentang orang Farisi dan pemungut cukai. Di dalam perumpamaan, mereka bertemu Yesus sebagai Kristus, yang mengajar dengan otoritas tentang berita penebusan Allah yang didasarkan pada kasih-Nya.

Dari catatan Injil, kelihatannya penafsiran terhadap perumpamaan-perumpamaan itu hanya diberikan kepada murid-murid Yesus. Yesus berkata kepada mereka, "Rahasia Kerajaan Allah telah diberikan kepadamu. Tetapi untuk orang luar segala sesuatu disampaikan dalam bentuk perumpamaan supaya,

Sekalipun melihat, mereka tidak menanggap, Sekalipun mendengar, mereka tidak mengerti,
Supaya mereka jangan berbalik dan mendapat ampun!"
(Markus 4:11,12).

Apakah ini berarti bahwa Yesus yang diutus oleh Allah untuk memberitakan pembebasan bagi orang berdosa yang telah jatuh, menyembunyikan pesan ini dalam bentuk perumpamaan-perumpamaan yang tidak dapat dipahami? Apakah perumpamaan-perumpamaan itu semacam teka-teki yang dimengerti hanya oleh mereka yang dipilih?

Kata-kata di dalam Injil Markus 4:11, 12 perlu dimengerti dalam konteks yang lebih luas sesuai dengan maksud dari penulis[6]. Di dalam bab sebelumnya, Markus menjelaskan ten tang pertemuan Yesus dengan orang-orang yang secara terang-terangan tidak percaya dan melawan Dia. Dia dituduh kerasukan Beelzebul dan Dia mengusir setan dengan kuasa dari penghulu setan (Markus 3:22). Yesus mengkontraskan an tara orang-orang percaya dan orang-orang tidak percaya, an tara pengikut dan penentang, an tara penerima dan penolak dari wahyu Allah. Mereka yang melakukan kehendak Allah menerima berita dari perumpamaan-perumpamaan itu, karena mereka masuk di dalam keluarga Yesus (Markus 3:35). Mereka yang berusaha untuk menghancurkan Yesus (Mrk 3:6) telah mengeraskan hatinya terhadap pengetahuan akan keselamatan. Hal ini merupakan masalah iman dan ketidak-percayaan. Orang-orang percaya mendengar perumpamaan, dan menerimanya dengan iman dan mengerti, meskipun pemahaman mereka secara penuh terjadi melalui sebuah proses. Orang-orang tidak percaya menolak perumpamaan karena bertentangan dengan pemikiran mereka[7]. Mereka menolak menangkap dan mengerti kebenaran Allah. Oleh karena mata mereka yang buta dan telinga mereka yang tuli, mereka menarik diri dari keselamatan yang Yesus beritakan, dan membawa diri mereka ke bawah penghukuman Allah.

Tidak mengherankan kalau pada mulanya murid-murid Yesus tidak mengerti sepenuhnya perumpamaan tentang penabur (Markus 4:13). Pengikut-pengikut-Nya yang dekat dibingungkan oleh pengajaran perumpamaan ini karena mereka belum melihat signifikansi pribadi dan pelayanan Yesus dalam hubungannya dengan kebenaran Allah yang dinyatakan melalui perumpamaan. Hanya karen a iman mereka dapat melihat kebenaran yang disaksikan oleh perumpamaan-perumpamaan itu[8]. Yesus memberikan penafsiran yang komprehensif untuk perumpamaan ten tang penabur dan perumpamaan gandum dan lalang. (Di bagian lain Dia kadang-kadang menambahkan klarifikasi dalam kesimpulan.) Murid-murid diberikan penjelasan tentang hubungan an tara kejadian-kejadian yang digambar kan oleh Yesus dalam perumpamaan seorang penabur dengan perumpamaan tentang Kerajaan Surga yang datang dalam pribadi Yesus, sang Mesias[9].



Penafsiran


Di gereja mula-mula, bapak-bapak gereja mulai mencari arti yang tersembunyi dari kedatangan Yesus di kitab sud Perjanjian Lama. Sebagai konsekuensi logis dari trend di atas, bapak-bapak gereja mulai menemukan arti tersembunyi di dalam perumpamaan-perumpamaan Yesus. Mungkin mereka dipengaruhi oleh apologetika orang-orang Yahudi dalam hal mengganti kesederhanaan Alkitab dengan spekulasi-spekulasi yang kabur. Dalam beberapa kejadian, hasil penafsiran terhadap perumpamaan-perumpamaan itu bersifat alegoris. Sehingga dari zaman bapak-bapak gereja sampai pertengahan abad ke sembilan belas, kebanyakan pengeksegesis menafsirkan perumpamaan secara alegoris.
Contohnya, Origen percaya bahwa perumpamaan tentang sepuluh gadis dipenuhi dengan simbol-simbol yang tersembunyi. Origen mengatakan bahwa semua gadis-gadis itu adalah orang-orang yang telah menerima Firman Allah. Gadis-gadis yang bijaksana percaya dan hidup di dalam kehidupan yang benar; gadis-gadis yang bodoh juga percaya tetapi tidak hidup berdasarkan kepercayaannya. Lima lampu darigadis yang bijaksana melambangkan lima pancaindra yang kesemuanya dipelihara untuk penggunaan yang tepat. Lima lampu dari gadis yang bodoh gagal memberikan terang dan keluar menuju kegelapan dunia. Minyak melambangkan pengajaran firman Tuhan, dan penjual minyak itu melambangkan guru. Harga min yak yang mereka minta itu adalah ketekunan. Tengah malam adalah lambang kelalaian. Tangisan kerasberasal dari malaikat-malaikat yang membangunkan semua manusia. Dan pengantin laki-laki adalah Kristus yang datang menemui pengantin perempuan yaitu gereja. Demikianlah Origen menafsirkan perumpamaan tersebut.

Para komentator abad ke sembilan belas masih mengidentifikasi rincian secara individu dari sebuah perumpamaan. Dalam perumpamaan sepuluh gadis, lampu yang menyala melambangkan pekerjaan baik dan minyak melambangkan iman orang percaya. Komentator lain melihat minyak sebagai simbol yang merepresentasikan Roh Kudus.

Namun tidak semua pengeksegesis perumpamaan mengambil jalur alegoris. Pada zaman reformasi, Martin Luthermencoba mengubah arah penafsiran Alkitab. Dia memilih metode eksegesis alkitabiah yang memperhitungkan latar belakang historis dan struktur gramatikal dari sebuah perumpamaan. John Calvin lebih tegas dalam sikapnya terhadap penafsiran secara alegoris. Dia sarna sekali menghindari penafsiran perumpamaan secara alegoris, dan dalam penafsiran dia secara langsung berusaha untuk mencari pokok utama dari pengajaran perumpamaan itu. Bila dia sudah mengetahui dengan pasti arti dari perumpamaan itu, dia tidak peduli dengan rincian-rinciannya. Calvin berpendapat bahwa rincian tidak ada kaitannya dengan tujuan pengajaran Yesus dalam perumpamaan yang diberikan-Nya.

Setelah pertengahan abad ke sembilan belas, C.E. van Koetsveld, seorang sarjana Belanda, memberikan dorongan untuk pendekatan yang diprakarsai oleh para reformis. Dia menjelaskan bahwa penafsiran sebuah perumpamaan secara alegoris yang berlebihan dari beberapa komentator cenderung mengaburkan dan bukan memperjelas pengajaran Yesus[10]. Seorang pengeksegesis, untuk bisa menafsirkan sebuah perumpamaan dengan tepat, harus memegang arti dasarnya dan bisa membedakan antara mana yang dianggap esensial dan mana yang tidak. Van Koetsveld dilanjutkan oleh seorang teolog Jerman A. Jülicher di dalam pendekatannya terhadap perumpamaan-perumpamaan itu. Jiilicher menyatakan bahwa istilah perumpamaan seringkali digunakan oleh para penginjil, namun kata alegori tidak pernah ditemukan di dalam catatan Injil mereka[11].

Di akhir abad ke sembilan bel as, belenggu alegoris yang mengikat penafsiran perumpamaan dipatahkan dan sebuah era baru dalam penelitian perumpamaan muncul[12]. Jülicher melihat Yesus sebagai guru dari prinsip-prinsip moral, C.H. Dodd memandang Yesus sebagai pribadi historis yang dinamis yang dengan pengajaran-Nya menimbulkan masa krisis. Dodd mengatakan, "Tugas seorang pengeksegesis perumpamaan, kalau ia dapat, adalah menemukan latar belakang sebuah perumpamaan di dalam situasi yang dimaksudkan oleh Injil"[13]. Yesus mengajarkan bahwa Kerajaan Allah, Anak manusia, pengadilan, berkat telah memasuki situasi historis pada waktu itu. Menurut Dodd, kerajaan itu bagi Yesus berarti pemerintahan Allah yang ditunjukkan di dalam pelayanan-Nya. Karena itu, perumpamaan-perumpamaan yang diajarkan oleh Yesus harus dimengerti memiliki hubungan langsung dengan situasi nyata berkaitan dengan pemerintahan Allah di dunia.

J. Jeremias melanjutkan karya Dodd. Dia juga mengharapkan bisa menemukan pengajaran parabolik yang kembali kepada Yesus sendiri. Tetapi, Jeremias mulai mencatat perkembangan historis dari perumpamaan-perumpamaan itu, dan dia percaya terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama menyinggung situasi nyata dari pelayanan Yesus, dan tahap yang kedua adalah refleksi dari cara perumpamaan-perumpamaan itu digunakan oleh gereja Kristen mula-mula. Tugas Jeremias sendiri adalah menggali kembali ben tuk asli dari perumpamaan-perumpamaan itu supaya dapat mendengar suara Yesus[14]. Dengan pengetahuannya yang mendalam ten tang tanah, kebudayaan, adat, bangsa, dan bahasa Israel, Jeremias dapat mengumpulkan kekayaan informasi dan menjadikan karyanya sebagai salah satu buku perumpamaan yang paling berpengaruh.
Meskipun begitu, pertanyaan yang dapat diajukan adalah apakah bentuk aslinya dapat dipisahkan dari konteks historis tanpa jatuh pada penebakan. Sebaliknya, seseorang bisa juga mengambil sebuah teks tentang perumpamaan dan menerimanya sebagai presentasi yang benar dari pengajaran Yesus, yaitu teks Alkitab yang telah diberikan oleh para penginjil kepada kita yang merefleksikan konteks historis dari asal mula perumpamaan-perumpamaan itu diajarkan. Kita harus bergantung kepada teks yang telah kita terima, dan kita menerima perumpamaan-perumpamaan itu beserta latar belakang historisnya. Hal ini memang menuntut suatu kepercayaan, yaitu bahwa para penginjil di dalam mencatat perumpamaan-perumpamaan itu memahami tujuan Yesus mengajarkan perumpamaan-perumpamaan itu sesuai latar belakang yang mereka uraikan[15]. Pada saat perumpamaan-perumpamaan itu dicatat, saksi mata dan pelayan-pelayan Firman meneruskan tradisi lisan dari kata-kata dan perbuatan Yesus (Lukas 1:1, 2). Sehubungan dengan saksi mata inilah, kita bisa diyakinkan bahwa konteks di mana perumpamaan-perumpamaan itu dituliskan menunjuk kepada waktu, tempat, keadaan pada saat Yesus pertama kali mengajarkan perumpamaan-perumpamaan itu.

Akhir-akhir ini, wakil-wakil dari sebuah sekolah hermeneutik yang baru secara bertahap semakin mengeluarkan perumpamaan-perumpamaan itu dari latar belakang historisnya ke penekanan literatur yang lebih luas yang berkisar pada struktur eksistensialnya[16]. Para sarjana itu memperlakukan perumpamaan-perumpamaan itu sebagai literatur eksistensial, dengan cara mengeluarkan perumpamaan-perumpamaan itu dari konteks historisnya dan mengganti arti aslinya dengan pesan zaman sekarang. Mereka menyangkal bahwa arti dari sebuah perumpamaan dapat ditemukan di dalam kehidupan dan pelayanan Yesus[17]. Mereka tidak tertarik kepada sumber dan latar belakang perumpamaan itu, tetapi lebih tertarik kepada bentuk literatur dan penafsiran eksistensialnya[18]. Bagi mereka struktur literatur dari perumpamaan itu penting karena struktur itu membawa manusia modern kepada momen keputusan, di mana dia harus menerima atau menolak tantangan yang ada di hadapannya.

Telah disetujui bahwa perumpamaan-perumpamaan itu mengajak manusia untuk bertindak. Pada bagian aplikasi dari perumpamaan orang Samaria yang baik hati, ahli Taurat yang bertanya kepada Yesus diperintahkan, "Pergi dan perbuatlah demikian" (Luk 10:37). Meskipun demikian, eksistensialis di dalam menafsirkan perumpamaan itu mementingkan bentuk imperatif dan mengabaikan bentuk indikatif dari perumpamaan itu. Dia memisahkan perkataan Yesus dari latar belakang budayanya sehingga menghilangkan kuasa dan otoritas yang diberikan oleh Yesus dalam perumpamaan-perumpamaan itu.

Lagipula, oleh karena eksistensialis hanya melihat struktur literatur dari perumpamaan itu dan memisahkan perumpamaan itu dari konteks historisnya, maka eksistensialis harus memberikan konteks baru kepada perumpamaan-perumpamaan itu. Jadi dia menempatkan perumpamaan-perumpamaan itu di dalam konteks zaman sekarang. Metode ini tidak dapat disebut eksegesis, karena filsafat eksistensial dimasukkan ke dalam teks Alkitab. Ini adalah eisegesis bukan eksegesis. Sayangnya, orang Kristen awam yang mencari bimbingan ke wakil-wakil sekolah hermeneutik baru untuk memahami perumpamaan-perumpamaan ini pertama-tama harus belajar filsafat eksistensial, teologi neoliberal dan gaya bahasa literatur ten tang strukturialisme sebelum dia mendapatkan keuntungan dari pandangan mereka.



Prinsip-prinsip


Menafsirkan perumpamaan tidak memerlukan latihan teologi dan filsafat yang mendalam. Pengeksegesis harus memahami beberapa prinsip dasar penafsiran. Prinsip-prinsip tersebut berhubungan dengan sejarah, tata bahasa, dan teologi teks Alkitab. Sedapat mungkin pengeksegesis hams belajar konteks historis dari perumpamaan. Studi ini meliputi analisa rind dari keadaan religius, sosial, politik dan geografis yang dinyatakan dalam perumpamaan. Misalnya, latar belakang perumpamaan orang Samaria yang baik hati menuntut pengenalan ten tang peraturan religius bagi seorang rohaniwan pada waktu itu. Seorang ahli Taurat datang kepada Yesus menanyakan apa yang harus dia lakukan untuk mewarisi kehidupan kekal, cetus an percakapan ini yang menimbulkan kisah orang Samaria yang baik hati.

Berkenaan dengan perumpamaan orang Samaria yang baik hati, pengeksegesis seharusnya memahami asal, status dan agama orang Samaria tersebut; fungsi, kantor, dan tempat tinggal ahli Taurat dan orang Lewi; topografi wilayah antara Yerusalem dan Yerikho; konsep orang Yahudi tentang hidup bertetangga. Dengan memperhatikan konteks historis perumpamaan itu, pengeksegesis bisa melihat alasan Yesus mengajarkan cerita-Nya dan dia mempelajari tujuan pengajaran Yesus yang terkandung dalam perumpamaan itu[19].

Kedua, pengeksegesis harus memberi perhatian kepada literatur dan susunan gramatikal dari perumpamaan itu. Bentuk dan tensa yang dipakai oleh penulis Injil itu sangatlah penting, karen a akan memberi penerang atas pengajaran pokok dari kisah tersebut. Studi kata d alam konteks Alkitab maupun dalam penulisan ekstra kanonikal merupakan bagian yang penting dalam proses menafsirkan perumpamaan. Jadi, studi kata sesama di dalam konteks perintah, "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri," seperti diberikan di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, terbukti menjadi studi yang bermanfaat. Pengeksegesis juga perlu untuk melihat pendahuluan dan kesimpulan dari perumpamaan itu, karena keduanya mungkin berisi bagian literatur seperti pertanyaan retorik, nasihat, atau sebuah perintah. Perumpamaan orang Samaria yang baik hati disimpulkan dengan sebuah perintah,"Pergi dan perbuatlah demikian" (Lukas 10:37). Ahli Taurat yang bertanya kepada Yesus tentang mewarisi kehidupan kekal tidak bisa lari dari perintah untuk mengasihi sesamanya seperti dirinya sendiri. Pendahuluan, dan khususnya kesimpulan, berisi tuntunan yang membantu pengeksegesis dalam menemukan bagian pokok dari perumpamaan itu.

Ketiga, bagian pokok dari perumpamaan yang diberikan harus diperiksa secara teologis berdasarkan seluruh pengajaran Yesus dan seluruh Kitab Suci[20]. Bila pengajaran dasar perumpamaan itu telah digali secara penuh dan dimengerti secara benar, kesatuan Kitab Sud terekspresikan, arti yang tepat dari perikop itu dapat dikembangkan dalam semua kesederhanaan dan kejelasannya.

Akhirnya, penafsir perumpamaan harus menerjemahkan artinya ke dalam istilah-istilah yang relevan dengan kebutuhan sekarang. Tugasnya adalah untuk mengaplikasikan pengajaran pokok sebuah perumpamaan ke dalam situasi kehidupan dari orang yang mendengar penafsirannya. Dalam perumpamaan orang Samaria yang baik hati, perintah untuk mengasihi sesamanya menjadi berarti ketika orang yang dirampok dan terluka sepanjang jalan Yerikho bulan lagi hanya sebagai sebuah gambaran di masa lampau. Sesama yang perlu dikasihi oleh kita adalah para tunawisma, orang miskin, dan pengungsi. Mereka bertemu dengan kita di jalan Yerikho yang dimuat di dalam surat kabar setiap hari dan dalam acara berita malam di TV.



Klasifikasi


Perumpamaan-perumpamaan Yesus dapat dikelompokkan dan diklasifikasikan dalam banyak cara. Perumpamaan tentang penabur, benih yang tumbuh dengan tersembunyi, gandum dan lalang, pohon ara yang tidak berbuah, pohon ara yang berserni termasuk ke dalam perumpamaan natur. Beberapa perumpamaan yang Yesus ceritakan berhubungan dengan pekerjaan dan upah. Beberapa di antaranya adalah perumpamaan pekerja di kebun anggur, penyewa, dan bendahara yang tidak jujur. Perumpamaan yang lain bertemakan pernikahan, dan perayaan-perayaan. Termasuk ke dalamnya adalah perumpamaan tentang anak-anak yang bermain di pasar, sepuluh gadis, perjamuan besar dan pesta perkawinan. Perumpamaan lain menunjuk pada tema umum mengenai yang hilang dan yang ditemukan kembali. Perumpamaan ten tang domba yang hilang, dirham yang hilang, dan anak yang hilang termasuk ke dalam kelompok ini.

Tetapi pengkategorian perumpamaan-perumpamaan itu tidak selalu pasti. Apakah perumpamaan tentang jala ikan termasuk kategori perumpamaan natur atau termasuk kelompok perumpamaan tentang pekerja dan upah? Dan kategori apa yang cocok untuk perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati? Mudah untuk melihat bahwa dalam mengelompokkan perumpamaan-perumpamaan itu bisa dimasukkan ke mana saja dan pada saat tertentu sepertinya dipaksakan.

Injil Sinopsis menyajikan perumpamaan-perumpamaan yang terdapat juga di dalam dua atau sering kali tiga Injil, namun ada juga perumpamaan-perumpamaan yang hanya terdapat dalam satu Injil. Injil Markus hanya mempunyai satu perumpamaan khusus bagi Injilnya (benih yang tumbuh tersembunyi), Injil Matius dan Lukas berisi beberapa perumpamaan khusus. Di dalam presentasi saya tentang perumpamaan, saya mengikuti urutan Injil yaitu pertama-tama mendiskusikan perumpamaan dari Injil Matius, dengan satu perumpamaan yang khusus yang diambil dari Injil Markus secara berurutan yaitu perumpamaan tentang penabur dan perumpamaan ten tang gandum dan lalang, kemudian satu perumpamaan yang diambil dari Injil Lukas. Di dalam perumpamaan yang terdapat juga dalam Injil yang lain, diambil perumpamaan yang hampir sama dari urutan Injil Matius, Markus dan Lukas. Prosedur ini diberlakukan untuk membantu pembaca yang ingin melakukan penelitian berdasarkan keparalelan sinoptik. Contohnya, karya K. Aland yang berjudul Synopsis of the Four Gospels. [21] Di dalam studinya ten tang perumpamaan-perumpamaan, referensi dalam bahasa Yunani dan Ibrani jarang digunakan. Kalau referensi dalam kedua bahasa itu muncul, referensi itu diberi bentuk salinan huruf ke huruf abjad yang lain dan terjemahannya disertakan juga. Alkitab bahasa Inggris yang menggunakan cara ini adalah New International Version (dengan seijin dari Executive Committee). Keuntungan bagi pembaca adalah teks NIV dicetak penuh di bagian permulaan tiap-tiap perumpamaan. Perumpamaan-perumpamaan itu memiliki pararel di dalam ketiga Injil Sinopsis yang diberikan secara berurutan Matius, Markus dan Lukas. Empat puluh perumpamaan dan ucapan-ucapan parabolis didiskusikan di dalam buku ini. Semua perumpamaan pokok dan bagian yang lebih besar dari ucapan-ucapan parabolis didaftar di dalam buku ini. Tentu saja, ucapan-ucapan itu harus diseleksi, sehingga perumpamaan ten tang garam dimasukkan dan perumpamaan ten tang terang dihilangkan. Hanya ucapan-ucapan parabolis dari Injil Sinopsis yang sudah diteliti, Injil Yohanes belum diteliti.

Literatur ten tang perumpamaan sangat banyak, seperti suatu aliran buku-buku dan artikel-artikel yang tidak berhenti. Akhir-akhir ini, hampir tidak ada perumpamaan yang diabaikan oleh sarjana-sarjana. Pandangan baru dari studi ten tang kebudayaan dan hukum Yahudi menjadi sangat berharga untuk mendapatkan pengertian yang lebih baik tentang pengajaran Yesus. Tujuan dari buku ini adalah untuk mempresentasikan dengan penjelasan yang cukup dan kontemporer kepada orang percaya yang mau belajar Alkitab dengan serius dan pendeta, ten tang perumpamaan tanpa hams dibingungkan oleh semua rinciannya. Catatan kaki dan bibliografi yang telah diseleksi akan membantu para teolog yang ingin studi lebih lanjut tentang perumpamaan-perumpamaan Yesus secara lebih intensif. Dengan materi bibliografi dan indeks yang demikian, dia akan mendapatkan jalan masuk kepada literatur yang tersedia tentang perumpamaan-perumpamaan Yesus.



Catatan :

[1] R. Schippers, "The Mashal-character of the Parable of the Pearl," dalam Studia Evangelica, ed. F.L. Cross (Berlin: Akademie-Verlag, 1964), 2:237.

[2] 2. F. Hauck, Teological Dictionary of the New Testament, V:752.

[3] A.M. Hunter, The Parables Then and Now (London: Westminster Press, 1971), 12.

[4] I. Epstein, ed., "Seder Zeraim Berakoth 13a,"dalam The Babylonian Talmud (London: Soncino Press, 1948),73

[5] Hauck, Teological Dictionary of the New Testament, volume: 758. J. Jeremias, di dalam bukunya Die Gleichnisse Jesu edisi ke 8 (Gottingen: Vandenhoeck & Ruprecht, 1970) 8, mengatakan bahwa perumpamaan-perumpamaan Yesus mempunyai kontribusi terhadap perkembangan gaya literatur dari perumpamaan-perumpamaan rabi.

[6] J. Jeremias, The parables of Jesus (New York: Scribner, 1963), 13-18, berpendapat bahwa kata-kata Yesus telah diletakkan secara salah dan berasal dari tradisi lain; kata-kata itu pasti ditafsirkan tanpa referensi dari konteks Injil Markus 4. Menurut Jeremias, penulis memasukkan perikop dari tradisi lain karena slogan parable(perumpamaan) asal mulanya berarti riddle (teka-teki), Jadi Jeremias menganggap ada dua arti untuk kata parable di dalam Markus 4, yaitu perumpamaan yang benar dan arti lain adalah teka-teki. Tetapi peraturan penafsiran, tidak mendukung penafsiran Jeremias, karena selain penginjil menunjukkan perbedaan dalam mengerti sebuah kata, juga harus mennyimpan arti yang sarna di seluruh perikop.

[7] W. Lane, The Gospel According to Mark (Grand Rapids: Eerdmans. 1974), 158; W. Hendriksen, Gospel of Mark (Grand Rapids: Baker Book House, 1975), 145; H.N. Ridderbos, The Coming of the Kingdom(Philadelphia: Presbyterian & Reformed, 1962),124.

[8] C.E.B. Cranfield, "St. Mark 4:1-34," Scot JT 4 (1951): 407.

[9] Lane, Mark, 160.


[10] CE. van Koetsveld, De Gelijkenissen van den Zaligmaker (Schoonhoven, 1869), volume 1,2.

[11] A. Jülicher, Die Gleichnisreden Jesu (Tubingen: Buchgesellschaft, 1963), volume 1, 2.

[12] Tanyakan ke karya studi yang menarik dari M Black, "The Parables of Allegory" dalam BJRL 42 (1960): 273-87; RE Brown, "Parable and Allegory Reconsidered" dalam NTS 5 (1962) : 36-45

[13] C.H. Dodd, The Parables of the Kingdom (London: Nesbit and Co., 1935),26.

[14] Jeremias, Parables, 113, 114.

[15] A.M. Brower, De Gelijkenissen (Leiden: Brill, 1946), 247; G.V. Jones, The Art and Truth of the Parables(London: S.P.C.K., 1964),38.

[16] M.A. Tolbert, Perspectives on the Parables (Philadelphia: Fortress Press, 1979),20.

[17] D.O. Via, Jr., dalam bukunya "A Response to Crossan, Funk, and Peterson," dalam Semeia 1 (1974): 222, menyatakan, "Saya sama sekali tidak tertarik bahkan kepada Pribadi Jesus di dalam sejarah."

[18] J.D. Crossan, dalam bukunya "The Good Samaritan: Towards a Generic Definition of Parable," dalamSemeia 2 (1974): 101, kelihatannya menunjukkan bahwa sebuah dalil yang menarik itu lebih penting daripada sebuah dalil yang benar.

[19] L. Berkhof, Principles of Biblicallnterpretation (Grand Rapids: Baker Book House, 1952),100.

[20] A.B. Mickelsen, Interpreting the Bible (Grand Rapids: Eerdmans, 1963),229.

[21] K. Aland, Synopsis of the Four Gospels (Stuttgart: Wuttembergische Bibelanstalt, 1976).



Disalin dari :

Simon Kistemaker, The Parables of Jesus, 1980, ISBN 979-9532-42-6