Sabtu, 22 Mei 2010

ROH KUDUS MEMAMPUKAN KITA UNTUK BERSAKSI

ROH KUDUS MEMAMPUKAN KITA UNTUK BERSAKSI
Kis. 2:1-21, Mzm. 104:24-34, Rom. 8:4-17, Yoh. 14:8-17, 25-27

Pengantar
Peringatan hari raya Pentakosta sering kita pahami sebagai hari pencurahan Roh Kudus. Pandangan tersebut sangatlah tepat. Tetapi bagi umat Israel Perjanjian Lama, hari raya Pentakosta yang mereka sebut dengan istilah “Shavuot” lebih dihayati sebagai hari turunnya Taurat di gunung Sinai, dan juga “Shavuot” merupakan hari pengucapan syukur atas hasil panen sebagai bukti pemeliharaan Allah di dalam hidup mereka. Semua ide tersebut menyatakan satu prinsip teologis, yaitu pencurahan berkat-berkat Allah yang rohaniah dan jasmaniah dalam kehidupan umatNya. Pewahyuan Taurat merupakan karunia rohaniah, dan hasil panen merupakan karunia pemeliharaan Allah kepada umatNya. Pada sisi lain umat Israel di Perjanjian Lama sebenarnya juga mengenal pencurahan roh. Namun makna pencurahan roh dalam kehidupan umat Israel di Perjanjian Lama masih terbatas dalam peristiwa pengurapan seorang Raja, Imam dan Nabi. Jadi sangat menarik kitab nabi Yoel yang dijadikan sumber kitab Kisah Para Rasul justru menyatakan, yaitu: “Akan terjadi pada hari-hari terakhir – demikianlah firman Allah – bahwa Aku akan mencurahkan RohKu ke atas semua manusia; maka anak-anakmu laki-laki dan perempuan akan bernubuat, dan teruna-terunamu akan mendapat penglihatan-penglihatan, dan orang-orangmu yang tua akan mendapat mimpi” (Kis. 2:17). Nubuat nabi Yoel tersebut menjadi suatu kenyataan pada hari Pentakosta. Di Kis. 2:1 menyaksikan bagaimana semua orang percaya kepada Kristus mendapat pencurahan Roh Kudus. Yang mana pencurahan Roh Kudus yang dahulu di zaman Perjanjian Lama masih terbatas pada kalangan “elit” tertentu, kini pada hari Pentakosta di Perjanjian Baru meluas dalam lingkup “setiap orang percaya”. Bahkan anak-anak perempuan dan orang-orang muda pada hari Pentakosta tersebut juga memperoleh pencurahan Roh Kudus.

Jangkauan Roh Yang Lintas Batas
Dalam tradisi umat Israel, wanita dan anak-anak sebenarnya tidak diperbolehkan berbicara dan menyampaikan firman. Tetapi pada hari Pentakosta, mereka juga dipenuhi oleh Kudus untuk menyampaikan kesaksian firman Tuhan. Mereka diberi karunia Roh untuk menyampaikan firman sesuai dengan bahasa dan pengertian orang-orang di sekitarnya, sehingga para pendengar menjadi mengerti dan memahami apa yang mereka maksudkan. Pencurahan Roh pada hari Pentakosta memampukan mereka untuk mengkomunikasikan berita Injil Kristus kepada setiap orang sesuai “world-view(pandangan dunianya). Firman yang menyaksikan tentang Kristus adalah firman yang hadir di tengah-tengah realitas kehidupan umat. Karena itu firman dari sang Kristus adalah firman yang kontekstual. Firman Kristus tersebut bukanlah firman yang asing bagi para pendengar atau firman yang jauh dari kenyataan pergumulan riel umat percaya. Itu sebabnya pada hari Pentakosta, Roh Kudus memberi kemampuan kepada para murid untuk menyampaikan firman yang dapat dimengerti oleh semua orang yang hadir saat itu. Di Kis. 2:9-10 mendiskripsikan orang-orang yang hadir dari berbagai suku bangsa, yaitu: Partia, Media, Elam, penduduk Mesopotamia, Yudea dan Kapadokia, Pontus dan Asia, Frigia dan Pamfilia, Mesir dan daerah-daerah Libia yang berdekatan dengan Kirene, pendatang-pendatang dari Roma. Di tengah-tengah pluralisme suku bangsa, budaya, bahasa dan adat-istiadat tersebut, Roh Kudus berkarya menyatukan mereka dengan kabar baik yang satu dan sama. Sehingga mereka yang semula dipisahkan oleh berbagai latar-belakang dimampukan untuk mengerti dan menerima kabar baik dari Injil Kristus.

Kondisi umat yang semula hidup beraneka-ragam latar-belakangnya, namun pada hari Pentakosta disatukan oleh Roh Kudus. Yang mana kondisi umat pada hari Pentakosta tersebut sangat berbeda dengan kondisi umat yang semula memiliki satu bahasa dan logatnya. Di Kej. 11 menyaksikan bagaimana umat yang satu bahasa dan logatnya tersebut akhirnya dikacau-balaukan oleh berbagai perbedaan. Tiba-tiba mereka tidak saling mengerti apa yang dimaksudkan oleh orang-orang di sekitarnya. Penyebab utama kekacau-balauan tersebut adalah suatu sikap sombong untuk mempermuliakan diri dengan membuat menara yang puncaknya sampai ke langit. Ketika kita saling tidak mengerti dengan apa yang dimaksudkan oleh orang-orang di sekitar, bukankah akan terjadi kesalahpahaman dan konflik? Dalam kenyataan hidup kita menyadari bahwa tidaklah mudah untuk mengkomunikasikan maksud hati atau pikiran kepada sesama khususnya ketika kita berhadapan dengan “world-view” atau perspektif yang berbeda. Bahkan suatu istilah yang sama tetapi disampaikan dalam konteks yang berbeda akan menghasilkan arti atau pengertian yang berbeda. Makna suatu kata atau pengertian juga ditentukan oleh cara pengucapan dan sikap tubuh kita. Apalagi ketika ucapan tersebut disampaikan dengan sikap yang sombong, maka suatu istilah yang semula baik menjadi sangat menyakitkan hati oleh orang yang mendengar atau melihatnya. Namun pada hari Pentakosta Roh Kudus berkenan menguduskan semua perbedaan dan penghalang komunikasi yang ada, sehingga terciptalah suatu pemahaman yang benar dan utuh bagi setiap orang yang mendengar berita Injil Kristus.

Karunia Bahasa Lidah?
Dalam peristiwa hari Pentakosta sama sekali tidak terjadi glosolalia (karunia berbahasa lidah) sebagaimana sering dinyatakan oleh kalangan tertentu. Sebab dalam bahasa lidah bukan dimaksudkan sebagai bahasa komunikasi dengan sesama, tetapi secara pribadi kepada Allah. Di surat I Kor. 14:2 rasul Paulus berkata: “Siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, tidak berkata-kata kepada manusia, tetapi kepada Allah. Sebab tidak ada seorangpun yang mengerti bahasanya; oleh Roh ia mengucapkan hal-hal yang rahasia”. Tetapi pada hari Pentakosta justru terjadi “xenolalia” (karunia yang mampu untuk berbahasa asing). Perbedaannya adalah umat yang berbicara dengan bahasa lidah akan menggunakan kata-kata yang asing dan tidak dapat dipahami oleh para pendengarnya. Tetapi mengkomunikasikan Injil dengan karunia “xenolalia” justru akan memampukan si penyampai untuk berbahasa “asing” sesuai dengan pemahaman para pendengarnya, sehingga para pendengar mampu mengerti dengan jelas berita yang disampaikan. Sehingga orang-orang Yahudi, orang-orang asing yang menjadi penganut agama Yahudi, orang Kreta dan orang Arab dari beberapa tempat seperti: Partia, Media, Elam, penduduk Mesopotamia, Yudea, Kapadokia, Pontus, Asia, Frigia, Pamfilia, Mesir, daerah-daerah Libia, dan pendatang-pendatang dari Roma dapat mengerti seluruh maksud dari firman yang disampaikan oleh rasul Petrus (Kis. 2:8-11). Ini berarti pencurahan Roh Kudus pada prinsipnya bertujuan untuk menjembatani suatu jarak yang terbentang di antara berbagai pihak, sehingga setiap pihak dapat mengalami karya keselamatan Allah yang telah dinyatakan di dalam pengorbanan Tuhan Yesus Kristus di kayu salib.

Walaupun kehidupan kita di antara sesama saat ini telah dilengkapi dengan peralatan komunikasi yang canggih, namun dalam prakteknya masih sering ditandai oleh kegagalan dalam berkomunikasi. Kesalahpahaman yang terjadi selain menimbulkan berbagai konflik dan pertikaian, juga tidak jarang terjadi pertumpahan darah. Walaupun kita seiman, namun tidak jarang kita mengalami kesulitan dan kegagalan untuk memahami “world-view” (pandangan dunia) sesama anggota jemaat kita. Apalagi komunikasi yang kita lakukan dengan orang yang tidak seiman, tidak satu suku/etnis, tidak sama tingkat pendidikan dan tingkat sosialnya akan berada dalam jarak yang lebih lebar dan sulit. Akibatnya hidup kita saat ini sering terkotak-kotak, saling mengucilkan dan mencurigai sesama. Bahkan yang lebih memprihatinkan hubungan di tengah-tengah keluarga juga terkotak-kotak, sehingga hubungan antara suami-isteri sering ditandai oleh kesalahpahaman, pertikaian dan perceraian. Selain itu pada zaman yang modern ini kita masih menghadapi masalah diskriminasi gender kepada kaum wanita, yang mana kaum wanita masih sering menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Demikian pula hubungan antara orang-tua dan anak mengalami masalah yang makin kompleks. Setiap kita gagal dalam komunikasi sehingga menimbulkan kesalahpahaman dan konflik dengan sesama, maka saat itu juga kita kehilangan perasaan damai-sejahtera. Sebenarnya pengalaman kehilangan perasaan damai-sejahtera merupakan suatu sinyal rohani yang dikaruniakan oleh Tuhan untuk mengingatkan bahwa hidup kita tidak bahagia karena kita telah gagal dalam memahami dan mengasihi sesama kita.

Pemulihan Untuk Saling Mengasihi
Janji Tuhan Yesus yang akan mengutus Roh Kudus pada prinsipnya bertujuan agar hubungan antara sesama dalam kehidupan umat manusia ditandai oleh kemampuan untuk mengasihi. Itu sebabnya di Yoh. 14:15-16, Tuhan Yesus berkata: “Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintahKu. Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu, yaitu Roh Kebenaran”. Karya Roh Kudus yang utama adalah memulihkan kemampuan umat percaya untuk saling mengasihi, sehingga hubungan dan komunikasi yang terputus dapat terjalin kembali. Sehingga dalam keluarga atau rumah-tangga umat percaya diharapkan tidak ada lagi yang melakukan kekerasan dalam berbagai bentuk, baik kekerasan secara fisik maupun kekerasan secara emosional. Tetapi kenyataan justru berbicara lain. Keluarga orang-orang Kristen justru sering terlibat dalam kekerasan fisik dan emosi kepada anggota keluarganya. Para pelaku kekerasan tersebut sesungguhnya orang-orang yang belum mampu berdamai dengan masa lalunya yang buruk. Mereka membutuhkan pencurahan Roh sehingga luka-luka batin mereka disembuhkan. Karya Roh Kudus bertujuan untuk mendamaikan diri kita dengan Allah dan sesama kita. Itu sebabnya Roh Kudus yang adalah Penghibur dikaruniakan kepada umat percaya agar mereka mengalami damai-sejahtera Kristus yang tidak dapat diberikan oleh dunia ini. Di Yoh. 14:27 Tuhan Yesus berkata: “Damai-sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai-sejahteraKu Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu”. Dengan demikian karya Roh Kudus dikaruniakan kepada kita agar Dia membalut dan menyembuhkan semua luka-luka batin atau luka-luka dalam emosi kita, sehingga kita dapat mengalami damai-sejahtera dan pengampunan dari Kristus. Pemulihan dan penyembuhan dari Kristus tersebut memungkinkan kita untuk menjadi saksi yang menyalurkan damai-sejahteraNya.

Karena itu kehidupan jemaat dapat menjadi potret diri dari para keluarga yang menjadi anggotanya. Jika para keluarga dalam anggota jemaat tersebut dipenuhi oleh kasih dan pengampunan, maka jemaat secara keseluruhan akan cenderung mempraktekkan damai-sejahtera Kristus. Sebaliknya ketika para keluarga dalam anggota jemaat tersebut dipenuhi oleh luka-luka batin dan perasaan sakit hati, maka umummya mereka akan cenderung untuk saling mengembangkan sikap curiga, bermusuhan, iri-hati dan saling melukai. Karya Roh Kudus pada hari Pentakosta tidak sekedar berkarya dalam lingkup yang luas seperti gereja atau masyarakat, tetapi dimulai dari kehidupan keluarga dan komunitas inti lainnya. Bila setiap komunitas inti atau keluarga memperoleh pencurahan Roh Kudus yang menyebabkan mereka mengalami pembaharuan hidup, maka pembaharuan hidup tersebut akan membawa pengaruh yang sangat besar dalam lingkup yang lebih luas. Karya Roh Kudus yang utama adalah menghadirkan kasih dan pengampunan, sehingga terciptalah suatu syaloom yang menyeluruh dalam kehidupan umat.

Roh Yang Memerdekakan

Di Rom. 8:1-13, pada prinsipnya rasul Paulus mengingatkan kepada umat percaya bahwa setiap orang yang hidup dalam kuasa Roh tidak akan hidup lagi dalam keinginan daging. Sebab kuasa Roh memberi kita hidup setelah kita dimerdekakan oleh Kristus dari hukum dosa dan hukum maut. Rasul Paulus berkata: “Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus, Roh, yang memberi hidup telah memerdekakan kamu dalam Kristus dari hukum dosa dan hukum maut”. Ini berarti pencurahan Roh Kudus yang telah diterima oleh setiap orang percaya ketika dia dibaptis dan mengaku percaya sesungguhnya diberi karunia untuk hidup menurut Roh. Dengan karunia Roh tersebut mereka telah diberi kemampuan untuk menolak dan melawan kehidupan menurut daging. Namun seringkali karunia Roh yang sebenarnya telah memerdekakan setiap orang percaya dari keinginan daging tersebut tidak diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Justru kita membiarkan keinginan daging menguasai seluruh aspek kepribadian kita. Sehingga arah dan orientasi hidup kita tertuju kepada keinginan daging dan hawa-nafsu dunia ini. Kita menjadi budak dan hamba dari hawa nafsu seperti misalnya: hawa-nafsu amarah, serakah, bersikap sewenang-wenang, nafsu seksuil yang liar, sikap konsumerisme, dan sebagainya. Di Rom. 8:6 merupakan gambaran bagaimana perbedaan orientasi antara mereka yang hidup menurut daging dan mereka yang hidup menurut Roh, yaitu: “Sebab mereka yang hidup menurut daging, memikirkan hal-hal yang dari daging; mereka yang hidup menurut Roh, memikirkan hal-hal yang dari Roh”. Karena itu karya Pencurahan Roh Kudus pada hari Pentakosta ini bertujuan untuk memulihkan kembali arah dan orientasi hidup kita agar tertuju kepada keinginan Roh belaka. Kita semua dipanggil untuk tidak bersikap toleran dan tidak berkompromi sedikitpun dengan berbagai keinginan daging. Karena keinginan daging adalah maut, tetapi keinginan Roh adalah hidup dan damai-sejahtera (Rom. 8:6).

Manakala kita dibebaskan dari keinginan daging, maka oleh kuasa Roh Kudus kita diberi karunia damai-sejahtera. Dalam hal ini makna damai-sejahtera merupakan lawan dari roh ketakutan dan kecemasan. Firman Tuhan di Rom. 8:14-15 berkata: “Semua orang yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah. Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: ya Abba, ya Bapa”. Ketika kita hidup menurut keinginan daging maka kita terbelenggu oleh hawa-nafsu dan kuasa dosa sehingga membuat kita terpisah dari persekutuan dengan Allah. Kita dikuasai oleh roh perbudakan yang membuat kita hidup dalam ketakutan (Rom. 8:14). Kita kehilangan damai-sejahtera di dalam hati kita karena hidup kita menjadi telah seteru Allah. Padahal damai-sejahtera merupakan suatu kebutuhan rohaniah yang paling mendasar. Tanpa damai-sejahtera dari Allah, maka hidup kita tidak dapat mengenyam makna bahagia dalam hidup ini. Tepatnya tanpa damai-sejahtera dari Allah, kita tidak bahagia. Namun kita sering membungkam perasaan tidak bahagia ini dengan melakukan berbagai keinginan daging. Untuk jangka waktu sementara hati kita memang terhibur. Tetapi perasaan tidak bahagia yang ditutupi oleh berbagai keinginan daging sesungguhnya makin memperdalam penderitaan batin kita. Keadaan tersebut seperti seseorang yang sedang kehausan dengan meminum banyak air laut. Dia akan makin haus ketika minum air laut, tetapi tak lama lagi dia akan mati. Di tengah-tengah dunia yang berdosa ini Kristus tidak membiarkan diri kita seperti yatim-piatu (Yoh. 14:18), yaitu orang-orang yang kehilangan kedua orang-tuanya. Karena itu Dia mencurahkan Roh KudusNya agar hubungan kita dengan Allah dipulihkan. Kuasa Roh Kudus memampukan kita untuk hidup sebagai anak-anak Allah sehingga dalam hidup kita sehari-hari terjalin hubungan yang mesra dengan Allah. Di dalam kuasa kasih Kristus, kita diperkenankan untuk memanggil Dia yang kudus dengan “ya Abba, ya Bapa”.

Kesaksian Untuk Pembangunan Jemaat

Karya pencurahan Roh Kudus sering dikaitkan dengan pemberian berbagai karunia kepada setiap orang percaya. Sehingga ketika gereja-gereja Tuhan yang tidak terlalu menonjolkan berbagai karunia Roh dianggap sebagai gereja yang hidup tanpa roh. Bagaimana kita harus menjawab permasalahan ini? Selaku gereja Tuhan, kita tidak menyangkal bahwa karya Roh Kudus juga mengaruniakan berbagai macam karunia seperti karunia hikmat, pengetahuan, menyembuhkan orang sakit, membuat mukjizat, bernubuat, membedakan bermacam-macam roh, karunia bahasa roh dan menafsirkan bahasa roh (I Kor. 12:8-10). Namun yang ditonjolkan oleh kalangan tertentu ternyata bukan karunia hikmat, pengetahuan, bernubuat dan membedakan bermacam-macam roh; melainkan yang sangat ditonjolkan justru karunia menyembuhkan orang sakit, membuat mukjizat dan karunia bahasa roh. Mengapa karunia-karunia tersebut yang ditonjolkan bahkan sering dijadikan ukuran untuk menentukan tingkat dan kualitas iman? Mengapa gereja-gereja atau kelompok-kelompok persekutuan tersebut juga tidak menonjolkan pula karunia-karunia Roh seperti: karunia hikmat, pengetahuan, bernubuat dan karunia untuk membeda bermacam-mcam roh? Keadaan tersebut menunjukkan bahwa ternyata kita tidak mampu menempatkan karunia-karunia Roh secara proporsional dan bertanggungjawab sesuai dengan panggilan hidup kita selaku umat pecaya. Padahal seluruh karunia tersebut ditempatkan oleh rasul Paulus untuk membangun jemaat dalam kesatuan tubuh (I Kor. 12:13, 24-25). Ini berarti karunia Roh yang utama adalah kasih. Sebab kasih senantiasa dapat menjembatani suatu jarak yang semula terputus, dan memampukan setiap pihak yang berbeda untuk hidup dalam rasa hormat dan sikap saling menghargai. Ketika kita mampu untuk saling mengasihi dan membangun kehidupan persekutuan, maka kita juga mengalami makna damai-sejahtera sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Tuhan Yesus.

Dengan demikian inti dari seluruh kesaksian iman Kristen yang secara hakiki memberitakan Kristus pada hakikatnya terkait dengan teologi pembangunan jemaat. Suatu pelayanan atau kesaksian yang menyebabkan anggota jemaat tidak dapat mengalami proses pertumbuhan rohani yang seharusnya, maka kesaksian iman yang demikian tidak berhasil mencapai sasaran. Jika suatu pelayanan atau kesaksian tidak berhasil mencapai sasaran, mengapa kita tetap melakukannya dengan pola dan metode yang selalu sama? Teologi pembangunan jemaat senantiasa terbuka terhadap berbagai perubahan yang positif dan konstruktif asalkan secara hakiki mempermuliakan Kristus dan memberdayakan jemaat. Karunia Roh memampukan setiap umat percaya untuk mengalami perubahan dan pembaharuan. Karena itu kita dapat memohon agar Roh Kudus memberikan kita hikmat dan pengetahuan yang tepat untuk menyelenggarakan suatu pelayanan dan kesaksian yang membangun jemaat. Sehingga yang ditawarkan oleh gereja bukan sekedar suatu pelayanan yang berbau “supra-natural”, tetapi suatu pelayanan yang memberdayakan setiap anggota jemaat dalam menghadapi realita kehidupan yang keras dan terbelenggu oleh kuasa dosa. Jemaat perlu diajar bagaimana mereka harus menerapkan karunia hikmat Allah di tengah-tengah kelicikan dunia ini. Selain itu anggota jemaat juga mampu menerapkan karunia pengetahuan agar mereka mampu memiliki wawasan iman yang kritis dalam menyikapi berbagai “kesesatan” yang terselubung. Semakin anggota jemaat memiliki wawasan iman yang luas, seimbang dan kritis maka mereka akan menjadi para saksi Kristus yang tangguh dalam menghadapi terpaan dan tantangan dunia ini.

Panggilan

Jika demikian, karya pencurahan Roh Kudus pada hakikatnya merupakan karunia Allah bagi setiap orang percaya agar kita mengalami transformasi dalam spiritualitas iman kita. Setiap orang percaya yang hidup menurut Roh senantiasa ditandai oleh perubahan hidup yang terus-menerus, dan pada saat yang sama setiap orang percaya hidup berdamai dengan Allah. Karya Roh Kudus bersifat transformatif sekaligus menciptakan rekonsiliasi dengan Allah, sesama dan dengan diri kita sendiri. Ketika spiritualitas dan kepribadian kita ditransformasi oleh Roh Kudus, sehingga kita juga dapat mengalami rekonsiliasi dengan Allah, sesama dan diri sendiri; bukankah kita juga dimampukan menjadi para pribadi yang dapat mengalami damai-sejahtera Allah? Tanda-tanda pencurahan Roh Kudus dapat terlihat pada kenyataan yang terjadi dalam spiritualitas dan kepribadian kita, yaitu apakah kita telah berdamai dengan Allah, sesama dan diri kita sendiri. Ketika kita telah diperdamaikan oleh kuasa Roh Kudus, maka kita juga dimampukan untuk mengasihi Allah, sesama dan diri kita sendiri. Bagaimana dengan kehidupan saudara saat ini? Apakah saudara telah mengalami damai-sejahtera? Juga apakah hidup saudara sungguh-sungguh bahagia dan penuh makna? Bila belum, maka pada saat ini Allah menawarkan kasih-karuniaNya kepada kita. Kristus menawarkan Roh KudusNya yang mampu membebaskan diri kita dari roh perbudakan, yaitu kuasa dosa yang mengikat dan membelenggu diri kita. Amin.