Minggu, 23 Mei 2010

Hidup Kita Terlukis Di Telapak Tangan Tuhan

Oleh Pdt. Yohanes Bambang Mulyono
TAHUN A: Minggu, 25 Mei 2008

Bacaan : Yesaya 49:8-16a , Mazmur 131, I Korintus 4:1-5, Matius 6:24-34

Tujuan: “Anggota jemaat mampu menghayati setiap aspek kehidupannya dalam genggaman tangan Tuhan, dan diteguhkan bahwa seluruh pergumulan mereka telah terlukis di telapak tangan Tuhan sehingga mereka tidak hidup dalam kekuatiran tetapi menjadi berkat bagi banyak orang”.

“Lihat, Aku telah melukiskan engkau di telapak tangan-Ku;
tembok-tembokmu tetap di ruang mata-Ku” (Yes. 49:16)



Penciptaan manusia menurut kesaksian Alkitab pada hakikatnya menyatakan bahwa manusia dibentuk dari debu tanah dan kemudian Allah menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya, sehingga manusia dapat menjadi mahluk yang hidup (Kej. 2:7). Dalam pemikiran kitab Kej. 2:7 tersebut terdapat dua tindakan Allah, yaitu: Allah membentuk manusia dari debu tanah yang berarti menunjuk kepada tindakan Allah yang menggunakan tanganNya. Setelah itu Allah menghembuskan nafas hidup yang parallel dengan tindakan Allah menghembuskan firmanNya. Jadi apabila manusia dapat memiliki suatu kehidupan serba unik dan khusus adalah karena pekerjaan tangan dan firman Allah. Itu sebabnya di Kej. 1:26-27 manusia dinyatakan sebagai “gambar dan rupa Allah”. Karena manusia telah diciptakan dengan tangan dan firman Allah, maka manusia diberi kedudukan khusus untuk mencerminkan sifat-sifat dan karakter Allah. Tujuannya adalah agar dengan “tangan dan pikirannya”, manusia diberi karunia untuk menjadi berkat bagi setiap sesamanya. Setiap tangan manusia dapat terulur menyatakan berkat sebagai kepanjangan tangan Tuhan; dan pikirannya dapat termanifestasikan untuk menangkap atau memahami pikiran dan kehendak Allah. Dengan tangan dan pikirannya, manusia dapat memiliki orientasi hidup yang mempermuliakan nama Tuhan. Namun ternyata dalam perjalanan sejarahnya umat manusia tidak senantiasa mau menggunakan tangan dan pikirannya untuk mempermuliakan nama Tuhan dan menjadi berkat bagi sesamanya. Tangan dan pikirannya justru sering disalahgunakan sebagai alat yang efektif dalam berbagai perbuatan dosa, seperti tindakan mencuri, merampas, merusak, menghancurkan dan membunuh. Akibatnya Allah menghukum manusia khususnya umat yang telah menyimpang dari perjanjian kasih-karuniaNya. Allah kemudian memakai tentara asing seperti raja Sanherib dan tentara dari kerajaan Asyur (705-681 sM), dan juga raja Nebukadnezar dan tentara Babel (604-562 sM) sebagai alat di tanganNya untuk menghukum umat Israel. Bahkan serangan raja Nebukadnezar pada waktu itu begitu fatal sebab umat Israel dapat dikalahkan secara telak. Bait Allah berhasil diruntuhkan dan akhirnya mereka hidup dalam pembuangan di Babel.

Namun tidak senantiasa tangan Tuhan dipakai untuk menghukum umatNya. Allah kemudian menggerakan raja Koresy dari kerajaan Medi-Persia sebagai alat di tanganNya untuk menaklukkan Babel pada tahun 539 sM. Raja Koresy dipakai oleh Tuhan untuk membebaskan umat Israel dari pembuangan di Babel dan membawa mereka kembali ke tanah Kanaan. Itu sebabnya di Yes. 44:28, Allah menyebut raja Koresy dengan ungkapan: “Akulah yang berkata tentang Koresy: dia gembalaKu, segala kehendakKu akan digenapinya dengan mengatakan tentang Yerusalem: Baiklah ia dibangun! Dan tentang Bait Suci: Baiklah diletakkan dasarnya!”. Allah telah memakai raja Koresy sebagai alat di tanganNya untuk membebaskan dan menyelamatkan umatNya. Sehingga kini umat Israel telah dipulihkan oleh Tuhan dan memiliki masa depan yang cerah. Apabila umat Israel pernah meratap: “Tuhan telah meninggalkan aku dan Tuhanku telah melupakan aku” (Yes. 49:14). Maka Tuhan memberikan jawaban: “Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun dia melupakannya, Aku tidak akan melupakan engkau” (Yes. 49:15). Ini berarti peristiwa pembebasan mereka dari cengkeraman dan pembuangan di Babel oleh raja Koresy tidak dihayati oleh umat Israel sekedar suatu peristiwa politis dan pergantian kekuasaan; tetapi dihayati sebagai peristiwa teologis yang mana pada hakikatnya Allah tidak pernah melupakan mereka. Seperti seorang ibu yang tidak pernah melupakan anaknya, demikian pula Allah juga tidak akan pernah melupakan umatNya. Bahkan sekalipun ada seorang wanita yang melupakan dan mengabaikan anaknya, maka Allah sekali-kali tidak akan pernah melupakan mereka. Allah selalu mengingat umatNya walau mereka senantiasa menyakiti, melukai dan melawan kehendak Allah. Bahkan sangat menarik tindakan Allah yang selalu mau mengingat dan tidak melupakan umatNya digambarkan oleh Yes. 49:16a, dengan ungkapan: “Lihat, Aku telah melukiskan engkau di telapak tanganKu”.

Ungkapan Yes. 49:16a tersebut sepertinya mau menyatakan bagaimana sikap kepedulian dan perhatian Allah yang sedemikian dalam, intensif dan personal; sehingga wajah-wajah setiap umatNya selalu tergambar dengan jelas di telapak tanganNya. Setiap kali Allah melihat telapak tanganNya, maka Dia juga melihat setiap kehidupan dan pergumulan umatNya. Yang mana melalui tanganNya, Allah telah sejak semula pernah mencipta dan membentuk manusia dari debu tanah dan kemudian Dia menghembuskan nafas hidup ke dalam hidung manusia. Jadi tangan Allah dimaknai oleh umat Israel sebagai wujud dari kuasa Allah yang kreatif dalam menciptakan umat manusia. Tetapi juga tangan Allah dipakai sebagai suatu simbolisasi dari sikap dan tindakan Allah yang selalu mau mengingat setiap kehidupan umatNya. Bukankah salah satu dari organ tubuh yang paling mudah kita lihat setiap saat adalah tangan dan telapak tangan kita? Sehingga melalui tangan dan telapak tangan yang kita miliki, kita dapat melakukan berbagai kegiatan yang cepat, efektif dan kreatif. Tetapi lebih dari pada itu tangan dan telapak tangan juga dapat kita pakai untuk mengungkapkan perhatian, kasih dan pertolongan kepada orang-orang di sekitar kita. Kepada anak-anak, kita dapat menggunakan tangan untuk mengungkapkan kasih-sayang dengan cara membelai-membelai kepala mereka. Dan kepada orang-orang yang menderita, kita dapat memakai tangan untuk menolong dan memberdayakan mereka. Itu sebabnya pula di Yes. 49:10b menyatakan tindakan Allah, dengan ungkapan: “Sebab Penyayang mereka akan memimpin mereka dan akan menuntun mereka ke dekat sumber-sumber air”. Secara implisit makna dari tindakan Allah yang menuntun umatNya di Yes. 49:10b jelas menunjuk kepada aktivitas “tangan Allah” yang terulur dari hatiNya yang selalu penyayang. Dalam hal ini Allah selalu peduli dengan permasalahan dan penderitaan kita sehari-hari seperti seseorang yang selalu dapat melihat tangan dan telapak tangannya. Itu sebabnya Allah selalu berbela-rasa dan bersedia untuk mengulurkan tanganNya sehingga kita dipelihara dan diselamatkan. Di Yes. 49:2a, terdapat ungkapan dari tokoh hamba Tuhan yang berkata: “Ia telah membuat mulutku sebagai pedang yang tajam dan membuat aku berlindung dalam naungan tanganNya”. Sang hamba Tuhan tersebut menjadikan tangan Tuhan sebagai tempat di mana dia berlindung. Demikian pula sikap Allah terhadap seluruh umatNya. Dengan tanganNya Allah telah mencipta, membentuk, menghukum dan mendisiplinkan manusia; tetapi juga dengan tanganNya Allah berkenan untuk memulihkan, menyayangi, melindungi dan selalu mau mengingat setiap pergumulan yang dialami oleh umatNya.

Dengan pemahaman teologis bahwa seluruh kehidupan kita telah tergambar atau terlukis di telapak tangan Tuhan, maka seharusnya kehidupan kita sebagai umat percaya dipenuhi oleh sikap penyerahan diri dan perasaan damai (syaloom). Karena Allah selalu peduli dengan mengingat dan mengetahui secara persis segala pergumulan kita, maka kita dimampukan untuk hidup tanpa perasaan kuatir atau cemas akan hari esok. Sayangnya pemahaman teologis tersebut tidak senantiasa meresapi seluruh aspek kerohanian kita, sehingga kehidupan kita masih dipenuhi oleh berbagai perasaan kuatir. Selaku umat percaya kita sering mampu merefleksikan makna hidup yang berada di telapak tangan Tuhan; tetapi pada sisi lain kita masih dipenuhi oleh perasaan kuatir terhadap sesuatu yang belum tentu terjadi. Perasaan kuatir atau kecemasan dalam kehidupan sehari-hari seringkali memiliki daya dorong yang begitu besar sehingga mampu melumpuhkan seluruh kemampuan rasional bahkan keyakinan iman yang kita miliki. Walaupun perasaan kuatir pada hakikatnya suatu perasaan cemas terhadap sesuatu yang tidak jelas atau tidak tentu (caused by uncertainty about something); namun faktanya perasaan kuatir mampu mengguncang seluruh sendi-sendi akal-budi dan spiritualitas kita. Sehingga saat kita dikuasai oleh perasaan kuatir atau cemas, kita tidak mampu lagi berpikir jernih dan obyektif. Kita juga tidak mampu berpikir secara kritis dan realistis saat kita dilanda oleh perasaan kuatir. Lebih jauh lagi, saat kita hidup dalam kekuatiran maka kita tidak mampu mempraktekkan suatu spiritualitas yang berserah diri kepada Tuhan. Akibatnya saat kita berada dalam perasaan kuatir, kita merasa tidak lagi hidup dalam naungan tangan Tuhan yang kuat. Kehadiran Tuhan terasa begitu jauh dan tanganNya kita rasakan seperti tak mampu untuk menjangkau dan menolong diri kita. Pengalaman itulah yang pernah dirasakan oleh umat Israel saat mereka dikalahkan secara telak, kemudian ditawan dan dibuang dalam pembuangan di Babel: “Sion berkata: Tuhan telah meninggalkan aku dan Tuhanku telah melupakan aku” (Yes. 49:14). Namun juga pengalaman berupa kekuatiran atau kecemasan tersebut sering diderita oleh umat manusia sepanjang masa. Sehingga Tuhan Yesus berkata: “Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?” (Mat. 6:25).

Problem kekuatiran yang sering dialami oleh umat manusia tidak didekati oleh Tuhan Yesus dengan metode “psikologis”; tetapi dengan pendekatan teologis yang menempatkan karya tangan Allah dalam kehidupan umat manusia. Itu sebabnya dalam pengajaranNya di atas bukit, Tuhan Yesus memotivasi dan menginspirasi kita untuk senantiasa menempatkan problem perasaan kuatir yang dialami oleh kebanyakan orang, yaitu:
• Di Mat. 6:26, Tuhan Yesus menyatakan bahwa burung-burung di udara dapat hidup karena mereka diberi makan oleh Bapa di sorga.
• Mat. 6:28-29, Tuhan Yesus mengajarkan agar kita tidak hidup dalam kekuatiran karena seperti Allah menumbuhkan bunga bakung di ladang yang tumbuh tanpa bekerja dan tanpa memintal tetapi keindahan bunga bakung melebihi kemuliaan dan keindahan pakaian dari raja Salomo, maka pastilah Allah juga akan memelihara kehidupan kita.
• Mat. 6:30, Allah yang mendandani rumput di ladang yang hari ini ada dan besok dibuang dalam api, maka pastilah Allah akan lebih peduli dengan setiap pergumulan dan persoalan umatNya.

Sangat menarik, semua kata kerja seperti: “Allah memberi makan burung-burung di udara”, “Allah menumbuhkan bunga bakung di ladang” dan “Allah mendandani rumput” pada prinsipnya menunjuk kepada tangan Allah yang bekerja yaitu: tangan Allah yang mencipta, memelihara dan melindungi umat manusia dan seluruh ciptaanNya. Tekanan utama dari pengajaran Tuhan Yesus di sini adalah: “Bukankah martabat manusia jauh melebihi semua ciptaan Tuhan?” Beberapa kali Tuhan Yesus berkata: “Bukankah kamu jauh melebihi….? (Mat. 6:26b, 30). Ini berarti sesungguhnya Allah senantiasa memberi perhatian atau kepedulian yang sangat khusus dan personal kepada setiap umatNya. Tangan Allah tiada henti-hentinya terus bekerja dan terulur untuk memelihara, menjaga, merawat dan melindungi setiap umat yang berseru kepadaNya. Jadi manakala tangan Tuhan terus bekerja dalam sejarah kehidupan setiap umatNya, mengapa kita masih hidup dalam kekuatiran dan tanpa pengharapan? Apabila Allah Bapa di sorga berkenan campur tangan dalam setiap pergumulan, permasalahan dan penderitaaan kita; mengapa kita masih membiarkan diri dikuasai oleh perasaan cemas yang tiada berkeputusan? Ternyata bagi Tuhan Yesus, masalah kecemasan dan kekuatiran yang merongrong hidup seseorang tidak dipandangNya hanya sekedar suatu fenomena psikologis; tetapi berkaitan erat dengan ekspresi iman. Seseorang yang terus kuatir dipandang oleh Tuhan Yesus sebagai “orang-orang yang kurang percaya” (Mat. 6:30). Atau Tuhan Yesus menyebut mereka sebagai: “bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah”. Di Mat. 6:32, Tuhan Yesus berkata: Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai? Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu”. Dengan perkataan lain, sikap hidup yang terus kuatir pada hakikatnya menunjukkan sikap yang kurang percaya dan tidak mengenal Allah walaupun kita mengaku sebagai orang-orang yang beragama atau beriman. Nilai spiritualitas kita sama sekali bukan ditentukan oleh sikap pengakuan iman secara liturgis dan doktrinal; tetapi sejauh mana kita mampu menempatkan seluruh kekuatiran, kecemasan dan ketakutan atau kegelisahan yang kita alami dalam penyerahan diri dalam genggaman tangan Tuhan. Apabila kita memposisikan diri selaku “hamba-hamba Allah yang berserah diri” maka kita juga akan memiliki sikap dan spiritualitas sebagaimana yang dilakukan oleh sang “hamba Tuhan” di Yes. 49:2a, yang mana dia berkata: “Ia telah membuat mulutku sebagai pedang yang tajam dan membuat aku berlindung dalam naungan tanganNya”. Dalam hal ini kita akan menempatkan diri kita di dalam naungan tangan Tuhan sebagai tempat perlindungan yang aman.

Makna berlindung dalam naungan tangan Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh firman Tuhan tidak pernah dipahami sebagai sikap yang pasif. Sebab di Yes. 49:6b, sang hamba Tuhan tersebut dipanggil untuk “menjadi terang bagi bangsa-bangsa”. Lalu di Yes. 49:8b, umat Israel yang berlindung dalam tangan Tuhan dipanggil “untuk membangun bumi kembali dan membagi-bagikan tanah pusaka yang sunyi sepi”. Demikian pula dalam pengajaran Tuhan Yesus di Mat. 6:33. Umat Tuhan dipanggil agar tidak hidup dalam kekuatiran, tetapi agar mereka lebih mengutamakan mencari dahulu Kerajaan Allah. Tuhan Yesus berkata: “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu”. Bukankah aspek teologis agar umat Allah dapat menjadi terang bagi bangsa-bangsa dan membangun bumi pada hakikatnya merupakan wujud dari tindakan “mencari Kerajaan Allah dan kebenaranNya”? Mewujudkan kehadiran Kerajaan Allah dan kebenaranNya berarti pula kita menghadirkan kehidupan bersama yang penuh dengan damai-sejahtera, keselamatan dan keadilan serta keutuhan ciptaan. Inilah kebutuhan hidup manusia yang paling mendasar dan tujuan hidup yang penuh makna. Sebab manakala kita gagal untuk mewujudkan realitas damai-sejahtera, keselamatan, keadilan dan keutuhan ciptaan; maka kita akan senantiasa hidup dalam kekuatiran, kecemasan dan ketakutan. Lebih jauh lagi manakala perasaan kuatir, cemas dan ketakutan yang tidak menemukan solusi atau jalan keluar maka akan berubah menjadi sesuatu yang destruktif; yaitu “sikap destruktif yang internal” (kepada diri sendiri), dan “sikap destruktif yang eksternal” (kepada orang-orang di sekitar kita). Sebaliknya sikap yang mau berlindung dalam naungan tangan Tuhan dan percaya bahwa Tuhan sangat peduli dengan segala pergumulan kita akan memotivasi, mendorong dan memberdayakan diri kita untuk menjadi kepanjangan tangan Tuhan. Di dalam iman kepada Kristus, kita dimampukan untuk menyalurkan berkat, menyampaikan penghiburan dan memberdayakan sesama yang lemah serta membebaskan mereka yang tertindas. Jika demikian, apakah kehidupan saudara telah bersandar penuh dalam genggaman tangan Tuhan? Apabila kita telah bersandar di dalam naungan tangan Tuhan, maka seharusnya kehidupan kita tidak lagi didominasi oleh perasaan kuatir akan hari esok sebab seluruh pergumulan, kesusahan dan penderitaan kita telah terlukis jelas di dalam telapak tanganNya. Kalau hidup kita telah terlukis di telapak tangan Tuhan, bukankah sangat relevan sabda dari Tuhan Yesus kepada kita, yaitu: “Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari" (Mat. 6:34). Amin.