Selasa, 01 Juni 2010

Melawan Pencobaan Dengan Ketaatan Firman Tuhan

Bacaan : Kej. 2:15-17, 3:1-7; Mzm. 32; Rom. 5:12-17; Mat. 4:1-11

Jati diri kita selaku manusia akan terlihat saat kita berhadapan langsung dengan persoalan dan situasi kritis. Dalam situasi yang normal, sehat dan sejahtera pada umumnya manusia akan mampu untuk menyembunyikan sifat dan karakternya yang kurang baik. Tetapi ketika kita menghadapi sesuatu yang mengancam dan membahayakan keselamatan hidup seperti: sakit, kemiskinan, kelaparan dan penderitaan maka sangat sulit bagi kita untuk menyembunyikan ungkapan dan jati diri kita yang sesungguhnya. Saat kita berhadapan dengan situasi “batas akhir” yang mana kita kita berada dalam kondisi yang sangat buruk dan kritis, maka kita akan mengekspresikan kedirian kita yang paling otentik. Karena itu untuk mengetahui kedirian Yesus yang sesungguhnya, Roh Allah membawa Yesus untuk diuji di padang gurun. Di Mat. 4:1 menyaksikan: “Maka Yesus dibawa oleh Roh ke padang gurun untuk dicobai Iblis”. Semula di sungai Yordan, Allah telah mengurapi Yesus dengan Roh Kudus sehingga Yesus menjadi Kristus. Roh Kudus telah memenuhi diri Yesus sehingga Dia menjadi seorang Messias. Tetapi kedirian Yesus sebagai Messias saat itu belum terbukti dan teruji. Apakah Dia dapat menjadi seorang Messias yang taat dan setia kepada Allah, ataukah Yesus berubah menjadi seorang Messias yang tidak taat kepada firman Tuhan. Karena itu Roh Kudus membawa Yesus ke padang gurun sebagai tempat di mana kedirianNya sebagai seorang manusia sekaligus sebagai Messias diuji secara total. Kita mengetahui situasi padang gurun sebagai tempat yang sangat kering dan sangat panas pada waktu siang tetapi sangat dingin pada waktu malam; tempat di mana tidak tersedia makanan dan minuman juga tidak memiliki pohon yang rimbun untuk berteduh. Sehingga padang gurun menjadi tempat bayang-bayang maut bagi siapapun yang berada di sana sebab tidak terjamin keselamatan hidupnya.

Lebih berat lagi manakala manusia yang berada di padang gurun yang sangat gersang dan panas tersebut kekurangan makanan, maka pastilah dia akan mendekati ajalnya. Justru Yesus menjadikan padang gurun sebagai tempat di mana Dia berpuasa selama empat puluh hari dan empat puluh malam. Sadhu Sundar Singh seorang pekabar Injil yang sangat terkenal dari India ingin meniru sikap Tuhan Yesus yang pernah berpuasa empat puluh hari dan empat puluh malam. Ternyata Sundar Singh tidak berhasil menyelesaikan puasanya sampai 40 hari sebab dia kemudian sakit dan hampir mati. Pada saat Tuhan Yesus berpuasa selama 40 hari, sebagai manusia Dia pasti mengalami perasaan lapar yang luar-biasa. Saat itulah datanglah Iblis untuk mencobai Yesus dengan berkata: “Jika Engkau Anak Allah, perintahkanlah supaya batu-batu ini menjadi roti” (Mat. 4:3). Iblis menyapa Yesus sebagai Anak Allah. Sapaan Iblis ini hendak mengingatkan Yesus bahwa Dia sesungguhnya memiliki kuasa mukjizat. Sehingga dengan kuasa mukjizatNya sebagai Anak Allah, Yesus mampu mengubah batu-batu yang berserakan di padang gurun itu menjadi roti yang dapat mengenyangkan perutNya yang telah lapar dan menyegarkan tubuhNya yang lemah-lunglai. Dalam pencobaan ini Iblis mengajak Yesus untuk menyadari bahwa Dia dapat menggunakan kekuatan mukjizatNya sebagai Anak Allah untuk sesuatu yang sangat berarti dan vital bagi diriNya, yaitu kebutuhan akan makanan. Sebab makanan merupakan kebutuhan pokok yang paling dasariah untuk kelangsungan hidup semua mahluk hidup. Siapapun yang kekurangan makanan, maka pastilah dia akan bertindak dengan segala macam cara agar dia dapat tetap hidup. Dalam situasi yang ekstrem kita juga dapat menjumpai kasus kanibalisme karena mereka berusaha untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, sehingga seseorang dapat tega membunuh dan memakan daging sesamanya. Menurut kisah yang beredar waktu kota Yerusalem dikepung oleh tentara Romawi pada tahun 70, penduduk yang berada dalam benteng kota Yerusalem tidak dapat memperoleh pasokan makanan. Akibatnya seorang ibu terpaksa membunuh bayinya karena kelaparan lalu dia memakan dagingnya. Jadi betapa dahyat bilamana manusia mengalami kekurangan makanan! Manusia dapat berubah secara emosional dan spiritual secara drastis saat dia kelaparan dan hampir mati. Karena itu tawaran Iblis agar Yesus mau mengubah batu-batu untuk menjadi roti sebenarnya merupakan keniscayaan. Apa salahnya Yesus menggunakan kuasa mukjizatNya untuk mengubah batu menjadi roti? Bukankah tindakanNya tersebut dapat menyelamatkan kelangsungan hidup dan pelayananNya sebagai Messias?

Dalam filosofi Jawa, sering perut (Jw: “weteng”) dihubungkan dengan situasi “gelap” (Jw: “peteng”). Maksudnya adalah kalau perut kita kelaparan, maka pastilah pikiran kita menjadi gelap. Sehingga seseorang kelaparan dapat mendorong manusia untuk melakukan berbagai tindakan yang gelap mata seperti: perbuatan mencuri, merampas, merampok, menjarah, dan membunuh serta berbuat anarkhis. Kita dapat melihat masalah ketidaktersediaan bahan makanan yang cukup dalam lingkup yang luas dapat menciptakan kerusuhan dan peradaban. Sikap seseorang yang semula santun dan beradab dapat berubah menjadi seorang yang beringas, kejam dan tidak beradab ketika dia tidak memperoleh makanan dalam suatu kurun waktu tertentu. Jadi sesungguhnya pernyataan Alkitab “laparlah Yesus” merupakan ungkapan yang eksistensial tentang situasi pergumulan Yesus yang waktu itu sedang berada pada titik yang paling berbahaya. Tetapi pada saat yang paling kritis itu, ternyata Yesus dapat melawan pencobaan Iblis dengan sikap ketaatanNya kepada firman Allah, sehingga Dia berkata: “Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah” (Mat. 4:4). Dalam hal ini Tuhan Yesus tidak menyangkal masalah makanan merupakan kebutuhan manusia yang paling fundamental. Tetapi Tuhan Yesus juga mengingatkan Iblis dan kita semua bahwa faktor kebutuhan makanan tidak boleh menentukan segala-galanya. Makanan memang diperlukan untuk kelangsungan hidup, tetapi tujuan hidup kita bukan untuk makan. Sebab manusia juga membutuhkan dimensi rohaniah yang menentukan makna dan tujuan hidupnya, yaitu ketaatan kepada firman Tuhan. Apa artinya manusia dapat memperoleh makanan untuk kelangsungan hidupnya, tetapi dia kehilangan makna dan martabatnya sebagai manusia? Justru dalam kehidupan sehari-hari, betapa sering kita melihat manusia mengabaikan martabatnya sebagai manusia yang telah diciptakan menurut gambar dan rupa Allah dengan tindakan yang tidak beradab dan anarkhis dengan alasan untuk memperoleh makanan. Dalam situasi yang kritis, Tuhan Yesus tetap memilih untuk tidak menggunakan kuasa mukjizatNya untuk mengubah batu menjadi roti bagi diriNya sendiri. Dia menggunakan kuasa mukjizatNya untuk menyembuhkan dan memberi makan kepada banyak orang, tetapi Tuhan Yesus tidak pernah membuat mukjizat apapun untuk kepentingan diriNya sendiri.

Walau Tuhan Yesus dapat membuktikan ketaatanNya kepada firman Tuhan, tetapi tampaknya Iblis tidak menyerah. Di Mat. 4:5 disebutkan Iblis membawa Tuhan Yesus ke kota suci dan menempatkan Dia di atas bubungan bait Allah. Tampaknya dalam pencobaan ini Iblis memberi kepada Yesus suatu penampakan visual seakan-akan Dia berada di atas bubungan Bait Allah di Yerusalem. Sebab tidaklah mungkin Yesus yang sedang berpuasa di padang gurun lalu Dia diajak masuk ke kota Yerusalem dan kemudian naik ke atas atap Bait Allah. Walaupun dalam bentuk bayangan atau visualisasi, tidak berarti pencobaan tersebut hanya kamuflage. Sebab bukankah sikap ketidaktaatan kita justru sering dimulai dari bayangan pikiran atau imaginasi dan berbagai harapan-harapan lainnya? Sebagai seorang Messias, Yesus sangat membutuhkan dukungan dan sambutan dari orang banyak. Sehingga apabila Dia melompat turun dari atas bubungan Bait Allah dengan selamat di hadapan orang banyak, maka pastilah orang banyak itu akan segera menerima otoritasNya sebagai Anak Allah. Mereka akan menyanjung dan mengakui Yesus sebagai Messias dari Allah. Dalam hal ini Iblis memberi jaminan kepada Yesus, bahwa Dia akan selamat dan tidak terluka sedikitpun ketika Dia melompat dari atas bubungan Bait Allah; dengan mengingatkan firman Tuhan di Mzm. 91:11-12 dinyatakan: “Sebab malaikat-malaikatNya akan diperintahkanNya kepadamu untuk menjaga engkau di segala jalanmu. Mereka akan menatang engkau di atas tangannya, supaya kakimu jangan terantuk kepada batu”. Apabila firman Tuhan telah menjamin keselamatan Yesus dan akan menguntungkan Yesus karena orang banyak akan memuji dan mengagumi kehebatanNya yang dapat melompat dengan selamat dari atas bubungan Bait Allah, apa salahnya kalau Yesus mencoba untuk mengikuti saran dari Iblis tersebut? Bukankah usul tersebut juga berdasarkan nubuat firman Tuhan, dan tindakan Yesus yang kelak dapat selamat saat Dia melompat dari bubungan Bait Allah akan membawa efek yang efektif untuk meneguhkan otoritasNya sebagai Anak Allah? Namun Tuhan Yesus menolak tawaran dan saran dari Iblis. Tuhan Yesus berkata: “Janganlah engkau mencobai Tuhan, Allahmu” (Mat. 4:7). Dalam hal ini Tuhan Yesus tidak mau mencobai Allah walaupun Allah pernah berfirman dan berjanji untuk menjaga atau melindungi Dia. Tuhan Yesus juga tidak mau memperoleh popularitas sebagai Messias dari orang banyak dengan cara yang demonstratif dan “supra-natural”. Tetapi Yesus juga mengingatkan Iblis bahwa dia telah mencobai Tuhan Allah saat Iblis berusaha untuk mencobai diriNya.

Sikap Tuhan Yesus tersebut justru sangat berbeda dengan sikap kita pada umumnya. Kita selaku gereja sering tergoda untuk memperoleh popularitas dengan cara menarik perhatian, demonstratif dan kalau perlu kita menonjolkan segala hal yang berbau “super-natural”. Betapa banyak kesaksian Kristen yang gemar dengan hal-hal yang supernatural dan sangat demonstratif yang ujung-ujungnya penonjolan diri. Bahkan untuk penonjolan diri tersebut beberapa orang mencari legitimasi ayat-ayat firman Tuhan atau kisah penglihatan-penglihatan yang kebenarannya perlu dipertanyakan secara lebih kritis. Mereka tanpa rasa malu memanipulasi ayat-ayat firman Tuhan untuk pembenaran diri sendiri. Padahal sikap tersebut sangat bertentangan dengan spiritualitas yang diajarkan dan dilakukan oleh Tuhan Yesus. Jadi apabila kita selaku gereja bersikap demonstratif dan mengandalkan hal-hal yang “supranatural” bukankah sesungguhnya kita telah memberlakukan siasat strategi Iblis. Karena itu kita harus senantiasa bersikap kritis dan waspada agar kita tidak menjadi alat atau agen dari Iblis untuk mencari perhatian dan penonjolan diri. Kita juga tidak boleh menggunakan ayat-ayat Alkitab untuk mencari pembenaran diri. Sebab ayat-ayat firman Tuhan seharusnya dipakai untuk berelasi dengan Tuhan agar kita mengetahui kehendakNya yang mendorong kita untuk terus membaharui diri.

Karena Iblis gagal untuk mencobai Yesus untuk memperoleh popularitas dengan cara melompat dari atas bubungan Bait Allah, maka Iblis kemudian membawa Yesus ke atas gunung yang tinggi dan memperlihatkan semua kerajaan dunia dengan segala kemegahannya. Semua kemegahan dan kemuliaan dari kerajaan dunia ini akan diberikan kepada Yesus jikalau Yesus mau menyembah Iblis. Pencobaan yang ketiga ini tentu lebih menarik dari pada semua pencobaan yang lain. Sebab manakala Yesus mau menyembah kepada Iblis, maka Yesus akan menjadi penguasa dari kerajaan dunia seluruhnya. Kuasa dunia dengan segala kemuliaan dan keagungannya akan menjadi milik Yesus. Bukankah godaan memiliki kerajaan dunia ini yang paling mendorong para penguasa dari zaman ke zaman untuk menjadi penakluk bangsa-bangsa lain agar mereka dapat menjadi penguasa yang adi-kuasa? Kita dapat menyebut ambisi dari penguasa seperti raja Nebukadnezar, Aleksander Agung, Jenghis Khan, para kaisar Romawi, dan sebagainya untuk menaklukkan dunia. Bahkan kini upaya menaklukkan dunia selain dengan cara-cara politis, militer dan ekonomi; juga menggunakan propaganda agama. Kita sangat prihatin bahwa agama yang seharusnya dipakai untuk membawa manusia kepada spiritualitas kerendahan hati justru disalahgunakan untuk meninggikan diri, menindas orang lain yang dianggap tidak seiman, dan menguasai hidup orang lain. Akibatnya agama-agama sering tidak menjadi berkat keselamatan tetapi justru menjadi ancaman dan bahaya bagi umat manusia. Selama kekuatan agama-agama, politik, ekonomi dan militer dipakai untuk merebut kekuasaan dunia sesungguhnya telah menjadi alat di tangan Iblis. Sikap inilah yang ditolak oleh Tuhan Yesus. Dia sama sekali tidak tergoda untuk memperoleh kekuasaan dunia dengan segala kemegahannya. Itu sebabnya Tuhan Yesus tidak mau menyembah kepada Iblis: “Enyahlah Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti” (Mat. 4:10). Dalam godaan ini Tuhan Yesus mengusir Iblis dari hadapanNya dengan menegaskan agar Iblis harus menyembah kepada Allah saja, dan tidak kepada yang lain. Dengan demikian terbukti bahwa Yesus akhirnya berhasil keluar sebagai pemenang. Dia telah membuktikan bahwa Dialah Messias yang setia dan taat kepada firman Tuhan.

Kesetiaan dan ketaatan Tuhan Yesus tersebut sangatlah berbeda dengan sikap manusia pertama yaitu Adam. Manusia pertama menunjukkan sikap yang tidak taat kepada firman Tuhan sehingga menyeret seluruh umat manusia ke dalam kuasa dosa. Jika manusia pertama menyeret umat manusia kepada maut dan hukuman Allah, maka Tuhan Yesus telah ditentukan oleh Allah dan yang terbukti tetap taat saat Dia dicobai akan mampu membawa manusia kepada keselamatan dan pengampunan Allah. Itu sebabnya di Rom. 5:17 rasul Paulus berkata: “Sebab jika oleh dosa satu orang, maut telah berkuasa oleh satu orang itu, maka lebih benar lagi mereka, yang telah menerima kelimpahan kasih karunia dan anugerah kebenaran, akan hidup dan berkuasa oleh karena satuorang itu, yaitu Yesus Kristus”. Ini berarti mengikuti Kristus berarti kita bersikap seperti yang dilakukan oleh Tuhan Yesus. Mengikut Kristus berarti kita bersedia untuk diuji dan kemudian mampu membuktikan kesetiaan serta ketaatan kita kepada firman Tuhan. Sayangnya banyak orang Kristen mengartikan mengikut Kristus untuk memperoleh keselamatan kekal tetapi mereka tidak bersedia untuk mentaati firman Tuhan dengan setia. Seakan-akan makna keselamatan akan terjadi jikalau mereka sekedar percaya kepada Tuhan Yesus, tetapi melepaskan makna keselamatan dengan sikap ketaatan. Kita akan dapat menjadi gambar dan rupa Allah yang sesungguhnya jikalau seluruh hidup kita ditandai oleh sikap ketaatan kepada firman Allah sebagaimana yang telah dilakukan oleh Tuhan Yesus. Jika demikian, bagaimanakah sikap hidup saudara sebagai orang Kristen? Apakah kehidupan saudara teruji dalam hal-hal yang sederhana dan sehari-hari, namun saudara tetap konsisten memberlakukan firman Tuhan? Apabila kita dapat teruji dan konsisten setia dengan hal-hal yang sederhana setiap hari, maka pastilah kita akan berhasil menjadi pemenang saat kita dicobai dengan hal-hal yang besar. Bagaimanakah jawab dan keputusan saudara saat ini? Amin.